Dahulu
kala hiduplah seorang saudagar di India Utara. Isterinya sudah
meninggal dan tiap hari ia turun dari rumahnya yang sepi di lereng bukit
ke kota di bawah untuk berdagang.
Pada
suatu hari ia memutuskan berjalan-jalan ke atas bukit untuk menikmati
pemandangan dan suara-suara hutan. Setelah beberapa lama, ia merasa
mengantuk, maka ia mencari tempat untuk tidur sebentar. Ia menemukan
sebuah gua di tebing karang. Kemudian ia berbaring dalam gua yang gelap
itu dan tidur.
Ketika
terbangun saudagar itu merasa ada sesuatu dalam gua itu. Ia memutuskan
untuk masuk lebih jauh ke dalam gua. Ia menemukan sebuah guci tanah liat
besar, dan ia dapat melihat ada sebuah lagi di dalam sana. Ketika ia
mendekati guci kedua, ia melihat beberapa guci lagi. Semuanya ada tujuh
guci.
“Apa ya isinya?” kata pedagang itu. Ada rasa takut dalam hatinya,
"Jangan-jangan di dalamnya ada ular atau kalajengking."
"Kalau kubuka guci ini, bagaimana kalau pemiliknya tiba-tiba muncul dan menuduhku mencuri?"
Ia
berjalan mondar-mandir dari satu guci ke guci yang lain, dan masuk
lebih dalam lagi ke dalam gua. Hanya ada dirinya dan tujuh buah guci di
dalam gua itu.
Walaupun merasa takut, rasa ingin tahunya begitu kuat, dan ia pun membuka guci yang pertama dilihatnya.
“Emas!”
teriaknya, lalu sambil menengok-nengok ke ke mulut gua ia mendekati
guci yang lain, “Apa ya isi guci yang lain?” lanjutnya dengan suara
dipelankan.
Satu
per satu ia membuka tutup guci hingga guci kelima. Semua penuh berisi
uang emas. Ketika ia membuka guci keenam, di balik tutup guci tertulis,
“Tujuh guci ini adalah milik orang yang beruntung menemukannya. Namun
barang siapa mengambilnya tak akan terhindar dari kutukan.”
Setelah
rasa ingin tahu, ketamakan adalah dorongan terbesar manusia. Saudagar
itu kegirangan. Ia segera turun dari puncak bukit dan meminjam gerobak
untuk membawa guci-guci itu pulang. Guci-guci itu besar dan berat. Ia
hanya dapat membawa dua guci sekali jalan. Dalam perjalanan terakhir ia
hanya membawa guci ketujuh sehingga gerobak yang didorongnya jauh lebih
ringan.
Selama
ia memindahkan guci-guci itu ke rumahnya, ia tidak bertemu siapa pun.
Sekarang pun ia tidak melihat orang lain di hutan itu. Rasa ingin
tahunya kembali timbul. Ia tak sabar menunggu hingga guci terakhir itu
dibawanya ke rumahnya.
“Coba kuhitung isinya,” katanya dalam hati, “Aku mau tahu berapa besar kekayaan yang kuperoleh hari ini.”
Ternyata
guci itu hanya berisi setengahnya. “Hah!” teriak pedagang kesal.
“Mengapa guci ini tidak penuh? Seharusnya penuh seperti guci yang lain.”
Ia menggerutu dan mengomel-omel sendiri.
Pada
saat itu juga ia merasa ada hembusan angin yang sangat dingin menembus
tubuhnya sehingga ia menggigil. Dan tiba-tiba pula ia merasa bahwa ia
harus mencari uang sebanyak-banyaknya untuk memenuhi guci itu.
Sejak
saat itu siang dan malam ia bekerja mati-matian untuk mengumpulkan uang
sebanyak mungkin dan memasukkannya ke dalam guci supaya penuh. Namun,
sebanyak apapun uang yang ia masukkan, guci itu tetap hanya berisi
setengahnya.
Saudagar
itu tidak pernah puas dengan uang yang diperolehnya. Hingga akhir
hidupnya ia tidak pernah dapat menikmati emas yang ia temukan, karena
dalam pikirannya hanya ada keinginan untuk mendapatkan lebih banyak lagi
uang dan hanya itu saja yang ia lakukan
|
Selasa, 08 Oktober 2013
Kisah Tujuh Guci (dari Kisah 1001 Malam)
Categories
Kisah 1001 Malam
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar