Ikan-ikan yang aneh
“Tuanku,” kata Sheharazade, “setelah mendengar cerita ini, kita akan kembali ke si nelayan yang akan melemparkan jin Ifrit kembali ke tengah laut.”“Nah Ifrit,” kata nelayan, “seandainya raja Yunan membebaskan guru Duban, mungkin Alloh juga tidak akan menghukumnya. Tapi ia menolak, dan kematianlah yang ia terima. Dan kau Ifrit, karena kau juga melakukan hal yang sama dengan raja Yunan, maka aku juga akan melakukan hal yang sama dengan guru Duban. Aku akan melelmparkanmu kembali ke laut.”
Ifrit menangis mendengar perkataan si nelayan, “Wahai nelayan, sekali lagi maafkan aku atas perbuatanku. Jangan membalas dendam, Sesungguhnya itu bukan bagian dari kebaikan hati. Tolong bebaskan aku, aku berjanji tidak akan menyakitimu!”
“Tidak!” kata nelayan.
“Aku akan membuatmu kaya seumur hidupmu,” kata jin.
Keinginannya untuk keluar dari kemiskinan membuat hati nelayan itu tergerak.
“Baiklah! Bersumpahlah kau atas nama Alloh yang Maha Kuasa bahwa kau tidak akan menyakitiku dan mengingkari ucapanmu!” kata nelayan.
Jin Ifrit mengucapkan sumpahnya, maka nelayan membuka penutup botolnya. Jin Ifrit keluar dari botol tersebut dan cepat-cepat melemparkan botol yang dipegang nelayan ke tengah laut, membuat si nelayan ketakutan.
Jin tertawa dan berkata, “Jangan khawatir! Aku tidak akan mengingkari janjiku. Sekarang ikutilah aku!”
Nelayan berjalan mengikuti jin hingga mereka tiba di sebuah danau yang luas dan jin itu berkata, “Lemparkan jalamu!”
Nelayan itu melihat banyak sekali ikan dengan berbagai warna: putih, merah, biru dan kuning. Ia melemparkan jalanya dan sangat yakin bahwa ia akan mendapatkan banyak sekali ikan yang terperangkap di jalanya. Tapi ternyata hanya empat ekor ikan dengan warna yang berbeda yang tertangkap.
“Bawa ikan ini ke istana dan persembahkan pada Sultan!” kata jin. “Dia akan memberimu uang yang banyak. Kau boleh datang ke sini setiap hari, tapi ingat! Kau hanya boleh melemparkan jalamu sekali sehari atau sesuatu yang buruk akan menimpamu!”
Setelah mengucapkan itu, Jin menghentakan kakinya ke tanah hingga terbelah. Sedetik kemudian tubuhnya menghilang ditelan bumi.
Nelayan membawa ikan itu pulang ke rumahnya dan menaruh mereka di dalam ember berisi air. Lalu ia membawanya ke hadapan Sultan. Sultan sangat senang dengan ikan pemberian nelayan karena baru pertama kali dalam hidupnya ia melihat ikan-ikan yang begitu cantik.
“Wah, ikan ini indah sekali! Kelihatannya sangat lezat. Terima kasih nelayan. Ini, terimalah hadiahmu!” kata sultan sambil memberikan empat ribu keping uang emas kepada nelayan.
Betapa bahagianya nelayan. Kini ia bisa membeli kebutuhan keluarganya.
“Wezir, bawa ikan ini kepada juru masak kita yang baru didatangkan dari Yunani itu! Ikan-ikan ini pasti selezat kecantikannya,” perintah sultan.
Wezir membawa ikan itu ke dapur dan menyerahkannya kepada juru masak supaya disiapkan untuk makan malam sultan.
“Kini tuanku,” kata Sheherazade. “Mari kita lihat apa yang terjadi di dapur istana.”
Juru masak istana segera membersihkan ikan-ikan tersebut, lalu menaruhnya di atas wajan dan memberinya sedikit minyak. Namun ketika ia akan membalik ikan-ikan tersebut, tiba-tiba tembok di hadapannya terbelah. Seorang gadis cantik keluar dari dalamnya. Ia mengenakan jubah biru yang terbuat dari satin, dengan anting-anting di telinganya, kalung mutiara tergantung di lehernya yang jenjang, serta cincin bermata rubi di jarinya yang lentik. Tanpa mempedulikan sang juru masak yang terkejut dengan kejadian aneh itu, ia melangkah mendekati penggorengan. Dengan sebatan tongkat di tangannya, ia mengetuk pinggir wajan dan berkata, “Hai ikan! Apakah kamu sedang melakukan tugasmu?”
Juru masak pun pingsan tak sadarkan diri.
Gadis itu mengulang pertanyaannya beberapa kali sebelum akhirnya ikan-ikan itu mengangkat kepalanya, “ya, ya! Jika kamu kembali kami pasti kembali. Jika kamu datang kami pasti datang. Dan jika kamu bersumpah, maka kami pun demikian!”
Lalu gadis itu mematikan api dengan tongkatnya lalu kembali menghilang ke dalam tembok yang segera menutup kembali seperti semula.
Juru masak istana yang baru sadar dari pingsannya, segera menengok ke dalam penggorengan dan mendapatkan bahwa ikan-ikan itu telah gosong. Ia sangat ketakutan, menyadari bahwa sultan akan murka.
“Aduh!” keluhnya, “Bagaimana aku melaporkannya pada sultan? Ia pasti tidak percaya jika aku menceritakan yang sebenarnya.”
Ketika ia tengah kebingungan, Wezir datang dan berkata “Juru masak, bawalah ikannya ke hadapan sultan!”
Juru masak dengan ketakutan menangis dan menceritakan kejadian aneh yang menimpanya. Wezir tercengang mendengarnya. Ia memutuskan untuk membuktikannya sendiri. Maka ia mengatakan kepada sultan bahwa karena satu dan lain hal, ikannya tidak jadi dihidangkan. Ia lalu memanggil nelayan dan memintanya untuk membawakan kembali ikan yang sama. Nelayan berjanji akan membawa ikan-ikan itu esok pagi.
Esoknya nelayan pergi ke danau dan kembali mendapatkan empat ekor ikan yang berbeda warna dan membawanya ke hadapan Wezir. Wezir membawanya ke dapur dan berkata kepada juru masak, “Masaklah! Aku ingin melihat sendiri kejadian yang kau ceritakan.”
Juru masak segera membersihkan ikan tersebut dan kemudian menaruhnya di atas wajan. Saat ikan-ikan tersebut telah matang di satu sisi dan siap dibalik, dinding di belakan wajan tersebut kembali terbelah. Dari dalamnya keluarlah gadis yang sama. Lalu dengan tongkatnya ia mengetuk-ngetuk wajan dan berkata: “Hai ikan! Apakah kamu sedang melakukan tugasmu?” Ikan-ikan itu mengangkat kepalanya dan menjawab dengan jawaban yang sama. Gadis itu mematikan api dengan tongkatnya lalu menghilang ke dalam tembok.
“Waw, sungguh luar biasa! Aku harus memberitahukannya pada sultan,” kata Wezir.
Sultan sangat penasaran mendengar cerita hebat tersebut.
“Aku harus melihat sendiri. Suruhlah nelayan untuk membawa ikan-ikan yang sama!” kata sultan.
Segera setelah nelayan menyerahkan ikannya dan menerima hadiahnya, Wezir membawanya ke ruang pribadi sultan. Wezir sendiri yang membersihkan dan menggoreng ikan-ikan tersebut di hadapan sultan. Dan seperti kemarin, ketika ikan sudah matang di satu sisi dan siap dibalik, tembok di belakang penggorengan itu terbuka. Namun kini yang datang bukanlah seorang gadis cantik melainkan seorang laki-laki negro yang berpakaian seperti pelayan. Negro ini bertubuh sangat besar dan membawa tongkat berwarna hijau ditangannya. Dengan tongkat itu ia mengetuk sisi penggorengan dan berkata dengan suaranya yang jelek, “Hai ikan! Apakah kamu sedang melakukan tugasmu?”
Dan ikan-ikan itu menjawab dengan jawaban yang sama. Negro itu melemparkan wajan hingga ke tengah ruangan dan mengubah ikan-ikan tersebut menjadi arang. Lalu ia pun menghilang ke dalam tembok yang segera menutup kembali.
“Kini aku yakin bahwa ikan-ikan ini bukan ikan sembarangan, aku harus mencari tahu. Panggillah segera nelayan untuk menghadapku!” kata sultan.
“Nelayan!” kata sultan setelah nelayan datang menghadap, “Dimana kau tangkap ikan-ikan itu?”
“Hamba menangkapnya dari sebuah danau yang terletak di antara 4 bukit kecil, di belakang gunung yang bisa tuanku lihat dari sini,” kata nelayan.
“Kamu tahu danau itu?” tanya sultan kepada Wezir.
“Tidak tuanku!” jawabnya. “Hamba belum pernah mendengarnya meskipun hamba sering berburu di sekitar gunung tersebut.”
Menurut nelayan, danau itu bisa ditempuh dalam waktu tiga jam, dan karena hari masih siang, sultan mengumpulkan beberapa pengawal termasuk Wezir untuk berangkat ke danau tersebut.
Mereka tiba di danau dan melihat bahwa danau itu sangat luas. Airnya begitu bening sehingga dasarnya bisa terlihat. Dan di dalamnya, ribuan ikan berenang, ikan merah, ikan, putih, ikan kuning dan ikan biru.
“Aku heran kenapa tak seoang pun dari kita yang pernah mendengar danau ini, padahal jaraknya begitu dekat dengan istana. Pasti ada sesuatu di balik semua ini. Demi Alloh, aku tidak akan kembali ke istana sebelum aku tahu penyebabnya!” kata sultan.
Ia lalu memerintahkan kepada pengawalnya untuk memasang tenda dan bermalam di sana.
Malamnya sultan memanggil Wezir.
“Kejadian ini sungguh membuatku penasaran. Danau yang yang tiba-tiba ada di sini, negro yang datang ke kamarku, ikan yang bisa bicara, semuanya sangat tidak biasa. Aku memutuskan untuk menyelidikinya sendiri. Tapi kau haus merahasiakan kepergianku. Berjagalah di depan tendaku. Jika siapapun ingin menemuiku, katakana bahwa aku sedang sakit dan tidak ingin diganggu. Lakukan itu hingga aku kembali!” perintah sultan.
0 komentar:
Posting Komentar