‘Wahai Wezirku, dahulu ada seorang Raja bernama Sindibad yang sangat senang berburu. Ia memiliki seekor elang yang sangat disayanginya. Kemanapun ia pergi, ia selalu membawa elangnya di tangan kirinya. Ia bahkan membuatkan sebuah cangkir emas khusus untuk tempat minum elangnya, yang ia kalungkan di leher sang elang. Pagi itu Raja sedang menikmati semilir angin di taman istananya yang indah, saat pelayan yang khusus merawat elangnya datang menghadap.
“O Raja yang mulia, hari ini adalah saat yang tepat untuk berburu.”
Tanpa menjawab, Raja bangkit dan memanggil elang kesayangannya dengan sebuah suitan. Sang elang segera hinggap di tangan kiri Raja Sindibad.
Rombongan Raja Sindibad tiba di hutan tempat mereka biasa berburu. Sebuah perangkap berupa jaring besar telah dipasang dan tidak berapa lama seekor kijang terperangkap di dalamnya.
“Jangan biarkan kijang itu lepas,” teriak raja pada para pengawal yang sedang melepaskan kijang itu dari jaring. “Kalau sampai kijang itu lepas, aku akan memenggal leher orang yang menyebabkannya. Siapapun ia!”
Para pengawal membawa jaring berisi kijang itu ke hadapan Raja. Tiba-tiba kijang itu membungkukkan badannya seolah-olah ia sedang memberi hormat kepada Raja. Raja Sindibad membalasnya dan WUTT !! dengan satu kali lompatan kijang itu melompati Raja Sindibad dan melarikan diri. Para pengawal mulai berbisik-bisik. “Apa yang mereka bicarakan? Apakah mereka membicarakanku?” tanya Raja kepada Wezirnya.
“Mereka sedang membicarakan perkataan Tuan yang tadi, yaitu bahwa Tuan akan memenggal leher siapapun yang menyebabkan kijang itu lepas,” jawab Wezir.
“Demi Tuhan, aku akan mengejar kijang itu kemanapun ia pergi dan membunuhnya!” teriak Raja murka.
Ia segera menaiki kudanya dan memacunya mengikuti jejak-jejak kaki kijang buruannya hingga mereka semua tiba di kaki sebuah bukit dimana kijang itu tersudut. Elang kesayangan Raja menyerang kijang dan mematuk matanya hingga buta. Lalu Raja melepaskan anak panahnya dan tepat mengenai jantung kijang. Seorang pengawal segera menyembelih kijang itu sebelum ia mati. Raja Sindibad lega karena telah berhasil menyelamatkan lehernya sendiri. Raja memutuskan untuk menghentikan perburuan karena mereka telah sangat jauh memasuki hutan. Para pengawal menaikkan hasil buruan ke atas kuda dan mereka bertolak untuk kembali ke istana.
Matahari begitu terik hari itu. Raja merasa sangat kehausan. Sayang, air perbekalan mereka telah habis. Raja terpaksa harus menahan rasa kering di tenggorokannya.
“Tuan Raja. Di depan ada mata air!” teriak seorang pengawal.
Di tempat yang ditunjuk si pengawal, tampak tetesan-tetesan air dari sebatang pohon besar yang berkumpul membentuk mata air.
Raja turun dari kudanya, mengambil cangkir emas dari leher elangnya lalu mengisinya dengan air. Ia hampir meminumnya ketika elang kesayangannya menyenggol cangkir di tangannya hingga terbalik.
“Mungkin ia sangat kehausan,” pikir Raja.
Raja mengisi kembali cangkirnya dan menyodorkannya kepada elang. Elang itu menolak, menyepaknya dengan cakarnya hingga air di cangkir itu tumpah. Raja mulai kesal tapi ia menahan amarahnya dan kembali mengisi cangkir tersebut. Ia menyodorkan air itu ke kudanya. Lagi-lagi elangnya menumpahkannya.
“Demi Alloh, engkau adalah binatang pembawa sial!” teriak Raja marah.
Ia menghunus pedangnya dan menyabet sayap elang kesayangannya hingga putus. Elang yang malang itu memberi isyarat kepada Raja menunjuk ke atas pohon dengan paruhnya. Dan tampaklah oleh Raja, di atas pohon itu tergantung bangkai ular yang sangat besar. Dari mulutnya menetes bisanya yang beracun dan bercampur dengan mata air yang hendak diminumnya.
Raja jatuh terduduk. Ia memeluk elang kesayangannya dengan penuh penyesalan. Air matanya jatuh dan untaian kata penyesalan berhamburan dari mulutnya. Raja membawa elang dalam dekapannya secepatnya ke istana untuk mendapatkan pertolongan. Sayang, sang elang kehilangan banyak darah dan ia mati dalam dekapan Raja.
Wezirku! Sekuat apapun Raja Sindibad menyesali perbuatannya, elang kesayangannya tak pernah bisa kembali. Dan aku takut wahai Wezirku, penyesalan yang sama akan datang padaku juga seperti kisah seorang suami yang membunuh burung nuri kesayangannya.’ Kata Raja Yunan.
“Seperti apa kisahnya, Rajaku?” tanya Wezir.
“Begini…”
0 komentar:
Posting Komentar