Rabu, 17 Juli 2013

Tokoh Sufi Dalam 1001 Malam

Diposting oleh Unknown di 02.26 1 komentar


                         
Ilahi, lastu lilfirdausi ahla.
Wala aqwa 'ala naril jahimi
Fahab li tawbatan waghfir dzunubi.
Fainaka ghafirud dzanbil adzimi

Artinya:
Tuhanku, Hamba tidaklah pantas menjadi penghuni surga (Firdaus).
Namun, hamba juga tidak kuat menahan panas api neraka.

Maka berilah hamba tobat dan ampunilah hamba atas dosa-dosa hamba.
Karena sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Mahaagung


Dua bait syair di atas tentu sudah sangat akrab di telinga masyarakat Indonesia terutama kaum tradisionalis Islam. Beberapa saat menjelang shalat Magrib atau Subuh, jemaah di masjid-masjid atau musala di pedesaan biasanya mendendangkan syair tersebut dengan syahdu sebagai puji-pujian. Konon, kedua bait tersebut adalah hasil karya tokoh kocak Abu Nawas. Ia adalah salah satu penyair terbesar sastra Arab klasik. Abu Nawas juga muncul beberapa kali dalam kisah 1001 Malam.

Bagi masyarakat Islam Indonesia, nama Abu Nawas atau Abu Nuwas juga bukan lagi sesuatu yang asing. Abu Nawas dikenal terutama karena kelihaian dan kecerdikannya melontarkan kritik-kritik tetapi dibungkus humor. Mirip dengan Nasrudin Hoja, sesungguhnya ia adalah tokoh sufi, filsuf, sekaligus penyair. Ia hidup di zaman Khalifah Harun Al-Rasyid di Baghdad (806-814 M).

Selain cerdik, Abu Nawas juga dikenal dengan kenyentrikkannya. Sebagai penyair, mula-mula ia suka mabuk. Belakangan, dalam perjalanan spiritualnya mencari hakikat Allah dan kehidupan sejati, ia menemukan kehidupan rohaniahnya yang sejati meski penuh liku dan sangat mengharukan. Setelah mencapai tingkat spiritual yang cukup tinggi, inspirasi puisinya bukan lagi khamar, melainkan nilai-nilai ketuhanan. Ia tampil sebagai penyair sufi yang tiada banding.

Nama asli Abu Nawas adalah Abu Ali al-Hasan bin Hani al-Hakami. Dia dilahirkan pada 145 H (747 M ) di kota Ahvaz di negeri Persia (Iran sekarang), dengan darah dari ayah Arab dan ibu Persia mengalir di tubuhnya. Ayahnya, Hani al-Hakam, merupakan anggota legiun militer Marwan II. Sementara ibunya bernama Jalban, wanita Persia yang bekerja sebagai pencuci kain wol. Sejak kecil ia sudah yatim. Sang ibu kemudian membawanya ke Bashrah, Irak. Di kota inilah Abu Nawas belajar berbagai ilmu pengetahuan.

Masa mudanya penuh perilaku kontroversial yang membuat Abu Nawas tampil sebagai tokoh yang unik dalam khazanah sastra Arab Islam. Meski begitu, sajak-sajaknya juga sarat dengan nilai sprirtual, di samping cita rasa kemanusiaan dan keadilan. Abu Nawas belajar sastra Arab kepada Abu Zaid al-Anshari dan Abu Ubaidah. Ia juga belajar Al-Quran kepada Ya'qub al-Hadrami. Sementara dalam Ilmu Hadis, ia belajar kepada Abu Walid bin Ziyad, Muktamir bin Sulaiman, Yahya bin Said al-Qattan, dan Azhar bin Sa'ad as-Samman. Pertemuannya dengan penyair dari Kufah, Walibah bin Habab al-Asadi, telah memperhalus gaya bahasanya dan membawanya ke puncak kesusastraan Arab. Walibah sangat tertarik pada bakat Abu Nawas yang kemudian membawanya kembali ke Ahwaz, lalu ke Kufah. Di Kufah bakat Abu Nawas digembleng. Ahmar menyuruh Abu Nawas berdiam di pedalaman, hidup bersama orang-orang Arab Badui untuk memperdalam dan memperhalus bahasa Arab.

Kemudian ia pindah ke Baghdad. Di pusat peradaban Dinasti Abbasyiah inilah ia berkumpul dengan para penyair. Berkat kehebatannya menulis puisi, Abu Nawas dapat berkenalan dengan para bangsawan. Namun karena kedekatannya dengan para bangsawan inilah puisi-puisinya pada masa itu berubah, yakni cenderung memuja dan menjilat penguasa.

Dalam Al-Wasith fil Adabil 'Arabi wa Tarikhihi, Abu Nawas digambarkan sebagai penyair multivisi, penuh canda, berlidah tajam, pengkhayal ulung, dan tokoh terkemuka sastrawan angkatan baru. Namun sayang, karya-karya ilmiahnya justru jarang dikenal di dunia intelektual. Ia hanya dipandang sebagai orang yang suka bertingkah lucu dan tidak lazim. Kepandaiannya menulis puisi menarik perhatian Khalifah Harun al-Rasyid. Melalui musikus istana, Ishaq al-Wawsuli, Abu Nawas dipanggil untuk menjadi penyair istana (sya'irul bilad).

Sikapnya yang jenaka menjadikan perjalanan hidupnya benar-benar penuh warna. Kegemarannya bermain kata-kata dengan selera humor yang tinggi seakan menjadi legenda tersendiri dalam khazanah peradaban dunia. Kedekatannya dengan kekuasaan juga pernah menjerumuskannya ke dalam penjara. Pasalnya, suatu ketika Abu Nawas membaca puisi Kafilah Bani Mudhar yang dianggap menyinggung Khalifah. Tentu saja Khalifah murka, lantas memenjarakannya. Setelah bebas, ia berpaling dari Khalifah dan mengabdi kepada Perdana Menteri Barmak. Ia meninggalkan Baghdad setelah keluarga Barmak jatuh pada tahun 803 M. Setelah itu ia pergi ke Mesir dan menggubah puisi untuk Gubernur Mesir, Khasib bin Abdul Hamid al-Ajami. Tetapi, ia kembali lagi ke Baghdad setelah Harun al-Rasyid meninggal dan digantikan oleh Al-Amin.

Sejak mendekam di penjara, syair-syair Abu Nawas berubah, menjadi religius. Jika sebelumnya ia sangat pongah dengan kehidupan duniawi yang penuh glamor dan hura-hura, kini ia lebih pasrah kepada kekuasaan Allah. Dua bait syair di atas merupakan salah satu syairnya yang dapat dipahami sebagai salah satu ungkapan rasa spiritual yang dalam.

Memang, pencapaiannya dalam menulis puisi diilhami kegemarannya melakukan maksiat. Tetapi, justru di jalan gelap itulah, Abu Nawas menemukan nilai-nilai ketuhanan. Sajak-sajak tobatnya bisa ditafisrkan sebagai jalan panjang menuju Tuhan. Meski dekat dengan Sultan Harun al-Rasyid, Abu Nawas tak selamanya hidup dalam kegemerlapan duniawi. Ia pernah hidup dalam kegelapan – tetapi yang justru membawa keberkahan tersendiri.

Seorang sahabatnya, Abu Hifan bin Yusuf bin Dayah, memberi kesaksian, akhir hayat Abu Nawas sangat diwarnai dengan kegiatan ibadah. Beberapa sajaknya menguatkan hal itu. Salah satu bait puisinya yang sangat indah merupakan ungkapan rasa sesal yang amat dalam akan masa lalunya.

Mengenai tahun meningalnya, banyak versi yang saling berbeda. Ada yang menyebutkan tahun 190 H/806 M, ada pula yang 195H/810 M, atau 196 H/811 M. Sementara yang lain tahun 198 H/813 M dan tahun 199 H/814 M. Konon Abu Nawas meninggal karena dianiaya oleh seseorang yang disuruh oleh keluarga Nawbakhti - yang menaruh dendam kepadanya. Ia dimakamkan di Syunizi di jantung Kota Baghdad.

Sejumlah puisi Abu Nawas dihimpun dalam Diwan Abu Nuwas yang telah dicetak dalam berbagai bahasa. Ada yang diterbitkan di Wina, Austria (1885), di Greifswald (1861), di Kairo, Mesir (1277 H/1860 M), Beirut, Lebanon (1301 H/1884 M), Bombay, India (1312 H/1894 M). Beberapa manuskrip puisinya tersimpan di perpustakaan Berlin, Wina, Leiden, Bodliana, dan Mosul.

Salah satu cerita menarik berkenaan dengan Abu Nawas adalah saat menejelang sakaratulmautnya. Konon, sebelum mati ia minta keluarganya mengkafaninya dengan kain bekas yang lusush. Agar kelak jika Malaikat Munkar dan Nakir datang ke kuburnya, Abu Nawas dapat menolak dan mengatakan. "Tuhan, kedua malaikat itu tidak melihat kain kafan saya yang sudah compang-camping dan lapuk ini. Itu artinya saya penghuni kubur yang sudah lama."

Tentu ini hanyalah sebuah lelucon, dan memang kita selama ini hanya menyelami misteri kehidupan dan perjalanan tohoh sufi yang penuh liku dan sarat hikmah ini dalam lelucon dan tawa.


Q BANGGA SAMA KAMU

Diposting oleh Unknown di 00.29 0 komentar





http://i399.photobucket.com/albums/pp79/The_Belter/FlowerLine.gifhttp://i399.photobucket.com/albums/pp79/The_Belter/FlowerLine.gif

Jauh di dalam lubuk hatiku . . Q bangga sama kamu, walaupun Q ngga pernah mengungkapkanya . .
Q bangga sama kamu, bangga sama cara kamu buat nyaman orang” di sekitarmu, gak mau nyusahin apa lagi ngecewain mereka.
Q bangga punya kamu, kamu yang bisa luluhkan hatiQ yang sempet beku, kamu ngasih Q sebuah harapan baru. Harapan yang awalnya mustahil bagi Q sebelumnya, tapi kamu mampu meyakinkanQ.
Q bangga pemikiranmu, ngga mau jadi anak manja yang Cuma bisa ngrengek dan minta”.Kamu orang yang kuat, pekerja keras, penuh semangat . . setiap orang yang liat semangat kamu pasti ikut semangat.
Q bangga memilikimu, kamu yang buat Q ngrasa punya arti, kamu yang buat hidupQ berwarna (kaya matahari yang muncul setelah hujan reda, yang memunculkan pelangi . . . yah, kamu matahari di hidupQ).
Q bangga pendirianmu, yang gak pernah goyah walaupun banyak cewe” (yang cantik n lebih segalanya dari Q) . . kamu tetep milih Q, kamu tetep jadiin Q yang pertama dan satu-satunya di hidupmu. (Padahal menurutQ awalnya gak ganteng, gak manis pula, ternyata lo di liat" . . . uuugh . . . pantesan banyak yang suka!!!)
Q bangga hatimu, hati kamu yang tulus menyayangi sseseorang, terutama IBU-mu, kamu yang jadikan IBU mu panutan hidupmu, walaupun IBU kamu udah ngga ada, tapi kamu slalu anggep dia ada (Kadang Q berharap bisa ketemu sama ibu kamu, tapi waktu ngga mengizinkan).

Kamu adalah hal terindah di hidupQ
Ngga pernah Q rasa yang seperti ini
Bahkan dengan orang yang pernah ngisi hidupQ dulu
Kamu, cowo yang ada di hatiQ selain ayah dan adeQ

Yah . . kamu tujuan hidupQ, DEBY YULIANDA SANDI
Semoga ALLAH mempersatukan kelak . .


 http://www.angelbritches.com/shop/themes/matrice/img/footer-flowers.png

Minggu, 07 Juli 2013

Orang Kanibal

Diposting oleh Unknown di 02.19 0 komentar

Saat itu Abu Nawas baru saja pulang dari istana setelah dipanggil Baginda. la tidak langsung pulang ke rumah melainkan berjalan-jalan lebih dahulu ke perkampungan orang-orang badui. Ini memang sudah menjadi kebiasaan Abu Nawas yang suka mempelajari adat istiadat orang-orang badui.

Pada suatu perkampungan, Abu Nawas sempat melihat sebuah rumah besar yang dari luar terdengar suara hingar bingar seperti suara kerumunan puluhan orang. Abu Nawas tertarik ingin melihat untuk apa orang-orang badui berkumpul di sana, ternyata di rumah besar itu adalah tempat orang badui menjual bubur, haris yaitu bubur khas makanan para petani.
Tapi Abu Nawas tidak segera masuk ke rumah besar itu, merasa lelah dan ingin beristirahat maka ia terus berjalan ke arah pinggiran desa.

Abu Nawas beristirahat di bawah sebatang pohon rindang. la merasa hawa di situ amat sejuk dan segar sehingga tidak berapa lama kemudian mengantuk dan tertidur di bawah pohon.
Abu Nawas tak tahu berapa lama ia tertidur, tahu-tahu ia merasa dilempar ke atas lantai tanah.
Brakkk...!
lapun tergagap bangun.
"Kurang ajar !
Siapa yang melemparku ?" tanyanya heran sembari menengok kanan kiri.

Ternyata ia berada di sebuah ruangan pengap berjeruji besi. Seperti penjara.
"Hai keluarkan aku, Kenapa aku dipenjara di sini...!" teriaknya.

Tidak berapa lama kemudian muncul seorang badui bertubuh besar. Abu Nawas memperhatikan dengan seksama, ia ingat orang inilah yang menjual bubur haris di rumah besar di tengah desa.

"Jangan teriak-teriak, cepat makan ini !" kata orang itu sembari menyodorkan piring ke lubang ruangan.

Abu Nawas tidak segera makan.
"Mengapa aku dipenjara ?" tanya Abu Nawas.

"Kau akan kami sembelih dan akan kami jadikan campuran bubur haris"

"Hah ? Jadi yang kau jual di tengah desa itu bubur manusia ?"

"Tepat....itulah makanan favorit kesukaan kami."

"Kami...? Jadi kalian sekampung suka makan daging manusia ?"

"lya, termasuk dagingmu, sebab besok pagi kau akan kami sembelih !"

"Sejak kapan kalian makan daging manusia ?" tanya Abu Nawas makin keheranan.

"Oh..,sejak lama....setidaknya sebulan sekali kami makan daging manusia."

"Dari mana saja kalian dapatkan daging manusia ?"

"Kami tidak mencari ke mana-mana, hanya setiap kali ada orang masuk atau lewat di desa kami pasti kami tangkap dan akhirnya kami sembelih untuk dijadikan bubur."


Abu Nawas diam sejenak....
la berpikir keras bagaimana caranya bisa meloloskan diri dari bahaya maut ini. la merasa heran, kenapa Baginda tidak mengetahui bahwa di wilayah kekuasaannya ada kanibalisme, ada manusia makan manusia.

"Barangkali para menteri hanya melaporkan hal yang baik-baik saja. Mereka tidak mau bekerja keras untuk memeriksa keadaan penduduk." pikir Abu Nawas.
"Baginda harus mengetahui hal seperti ini secara langsung, kalau perlu....!"

Setelah memberi makan berupa bubur, badui itu meninggalkan Abu Nawas.
Abu Nawas tentu saja tak berani makan bubur itu jangan-jangan bubur manusia. la menahan lapar semalaman tak tidur, tubuhnya yang kurus makin nampak kurus.
Esok harinya badui itu datang lagi....
"Bersiaplah sebentar lagi kau akan mati."

Abu Nawas berkata,
"Tubuhku ini kurus, kalaupun kau sembelih kau tidak akan memperoleh daging yang banyak. Kalau kau setuju nanti sore akan kubawakan temanku yang bertubuh gemuk. Dagingnya bisa kalian makan selama lima hari."

"Benarkah ?" tanya badui itu.

"Aku tidak pernah bohong !" kata Abu Nawas meyakinnya.

Orang badui itu diam sejenak, ia menatap tajam kearah Abu Nawas. Entah kenapa akhirnya orang badui itu rnempercayai dan melepaskan Abu Nawas.
Abu Nawas langsung pergi ke istana menghadap Baginda. Setelah berbasa-basi maka Baginda bertanya kepada Abu Nawas.

"Ada apa Abu Nawas ? Kau datang tanpa kupanggil ?"

"Ampun Tuanku, hamba baru saja pulang dari suatu desa yang aneh."

"Desa aneh, apa keanehannya ?" tanya Baginda ingin tahu.

"Di desa tersebut ada orang menjual bubur haris yang khas dan sangat lezat. Di samping itu hawa di desa itu benar-benar sejuk dan segar" kata Abu Nawas.

"Aku ingin berkunjung ke desa itu.
Pengawal, Siapkan pasukan !" kata Baginda.

"Ampun Tuanku, jangan membawa-bawa pengawal. Tuanku harus menyamar jadi orang biasa" bujuk Abu Nawas.

"Tapi ini demi keselamatanku sebagai seorang raja"

"Ampun Tuanku, jika bawa-bawa tentara maka orang sedesa akan ketakukan dan Tuanku takkan dapat melihat orang menjual bubur khas itu."

"Baiklah, kapan kita berangkat ?"

"Sekarang juga Tuanku, supaya nanti sore kita sudah datang di perkampungan itu."


Demikianlah, Baginda dengan menyamar sebagai seorang biasa mengikuti Abu Nawas ke perkampungan orang-orang badui kanibal.
Abu Nawas mengajak Baginda masuk ke rumah besar tempat orang-orang makan bubur. Di sana mereka membeli bubur. Baginda memakan bubur itu dengan lahapnya.

"Betul katamu, bubur ini memang lezat !" kata Baginda setelah makan.
"Kenapa buburmu tidak kau makan Abu Nawas."

"Hamba masih kenyang," kata Abu Nawas sambil melirik dan berkedip ke arah penjual bubur.

Setelah makan, Baginda diajak ke tempat pohon rindang yang hawanya sejuk.
"Betul juga katamu, di sini hawanya memang sejuk dan segar.
ahhhhh........
aku kok mengantuk sekali" kata Baginda.

"Tunggu Tuanku, jangan tidur dulu....hamba pamit mau buang air kecil di semar belukar sana" kata Abu Nawas.

"Baik, pergilah Abu Nawas !" kata Baginda mempersilahkan.

Baru saja Abu Nawas melangkah pergi, Baginda sudah tertidur, tapi ia segera terbangun lagi ketika mendengar suara bentakan keras.

"Hai orang gendut, cepat bangun !
Atau kau kami sembelih di tempat ini !"

Ternyata badui penjual bubur sudah berada di belakang Baginda dan menghunus pedang di arahkan ke leher Baginda.
"Apa-apaan ini !" protes Baginda.

"Jangan banyak cakap, cepat jalan !" kata badui itu.

Baginda mengikuti perintah orang badui itu dan akhirnya dimasukkan ke dalam penjara.
"Mengapa aku di penjara ?" tanya Baginda.

"Besok kau akan kami sembelih, dagingmu kami campur dengan tepung gandum dan jadilah bubur haris yang terkenal lezat.

"Haahhh, Astaqfirullah jadi yang kumakan tadi...?"

"Betul kau telah memakan bubur kami, bubur manusia."

"Hoekkkkk....!"
Baginda mau muntah tapi tak bisa.

"Sekarang tidurlah, berdoalah, sebab besok kau akan mati."

"Tunggu...." kata Baginda.

"Mau apa lagi ?" tanya si badui.

"Berapa penghasilanmu sehari dari menjual bubur itu ?"

"Lima puluh dirham !"

"Cuma segitu ?"

"lya !"

"Aku bisa memberimu lima ratus dirham hanya dengan menjual topi" kata Baginda.

"Ah, masak ?"

"Sekarang berikan aku bahan kain untuk membuat topi. Besok pagi boleh kalian coba menjual topi buatanku itu ke pasar. Hasilnya boleh kau miliki semua !"

Badui itu ragu, ia berbalik melangkah pergi. Tak lama kemudian kembali lagi dengan bahan-bahan untuk membuat topi.
Esok paginya Baginda menyerahkan sebuah topi yang bagus kepada si badui. Baginda berpesan,
"Juallah topi ini kepada menteri Farhan di istana Baghdad."

Badui itu menuruti saran Baginda. Menteri Farhan terkejut saat melihat seorang badui datang menemuinya.
"Mau apa kau ?" tanya Farhan.

"Menjual topi ini..." jawab si badui.

Farhan melirik, topi itu memang bagus. la mencoba memeriksanya dan alangkah terkejutnya ketika melihat hiasan berupa huruf-huruf yang maknanya adalah surat dari Baginda yang ditujukan kepada dirinya.

"Berapa harga topi ini ?" tanya Farhan.

"Lima ratus dirham tak boleh kurang !"

"Baik aku beli !"

Badui itu langsung pulang dengan wajah ceria. Sama sekali ia tak tahu jika Farhan telah mengutus seorang prajurit untuk mengikuti langkahnya.
Siangnya prajurit itu datang lagi ke istana dengan melaporkan lokasi perkampungan si penjual bubur. Farhan cepat bertidak sesuai pesan di surat Baginda.

Seribu orang tentara bersenjata lengkap dibawa ke perkampungan. Semua orang badui di kampung itu ditangkapi sementara Baginda berhasil diselamatkan.
"Untung kau bertindak cepat, terlambat sedikit saja aku sudah jadi bubur !" kata Baginda kepada Farhan.

"Semua ini gara-gara Abu Nawas !" kata Farhan.

"Benar ! Tapi juga salahmu, kau tak pernah memeriksa perkampungan ini bahwa penghuninya adalah orang-orang kanibal !" kata Baginda.

"Bagaimanapun Abu Nawas harus dihukum !"

"Ya, itu pasti !"

"Hukuman mati !" sahut Farhan.

"Hukuman mati ? Ya, kita coba apakah dia bisa meloloskan diri...." sahut Baginda

Melarang Ruku' dan Sujud

Diposting oleh Unknown di 02.18 0 komentar

Khalifah Harun al-Rasyid marah besar pada sahibnya yang karib dan setia, yaitu Abu Nawas. Ia ingin menghukum mati Abu Nawas setelah menerima laporan bahwa Abu Nawas mengeluarkan fatwa : tidak mau ruku’ dan sujud dalam shalat. Lebih lagi, Harun al- Rasyid mendengar Abu Nawas berkata bahwa ia khalifah yang suka fitnah !.

Menurut pembantu-pembantunya, Abu Nawas telah layak dipancung karena melanggar syariat Islam dan menyebar fitnah...
Khalifah mulai terpancing. Tapi untung ada seorang pembantunya yang memberi saran, hendaknya Khalifah melakukan tabayun (konfirmasi) dulu pada Abu Nawas. Abu Nawas pun digeret menghadap Khalifah.


Kini, ia menjadi pesakitan.
”Hai Abu Nawas, benar kamu berpendapat tidak ruku’ dan sujud dalam salat ?” tanya Khalifah dengan keras.

Abu Nawas menjawab dengan tenang, ”Benar, Saudaraku.

”Khalifah kembali bertanya dengan nada suara yang lebih tinggi,
”Benar kamu berkata kepada masyarakat bahwa aku, Harun al-Rasyid adalah seorang khalifah yang suka fitnah ?”

Abu Nawas menjawab,
”Benar, Saudaraku.”

Khalifah berteriak dengan suara menggelegar,
”Kamu memang pantas dihukum mati, karena melanggar syariat Islam dan menebarkan fitnah tentang khalifah !”

Abu Nawas tersenyum seraya berkata,
”Saudaraku, memang aku tidak menolak bahwa aku telah mengeluarkan dua pendapat tadi, tapi sepertinya kabar yang sampai padamu tidak lengkap, kata-kataku dipelintir, dijagal, seolah-olah aku berkata salah.”

Khalifah berkata dengan ketus, ”Apa maksudmu ? Jangan membela diri, kau telah mengaku dan mengatakan kabar itu benar adanya.”

Abu Nawas beranjak dari duduknya dan menjelaskan dengan tenang,
”Saudaraku, aku memang berkata ruku’ dan sujud tidak perlu dalam salat, tapi dalam salat apa ?
Waktu itu aku menjelaskan tata cara salat jenazah yang memang tidak perlu ruku’ dan sujud.”

”Bagaimana soal aku yang suka fitnah ?” tanya Khalifah.

Abu Nawas menjawab dengan senyuman,
”Kala itu, aku sedang menjelaskan tafsir ayat 28 Surat Al-Anfal, yang berbunyi ketahuilah bahwa kekayaan dan anak-anakmu hanyalah ujian bagimu. Sebagai seorang khalifah dan seorang ayah, kamu sangat menyukai kekayaan dan anak-anakmu, berarti kamu suka ’fitnah’ (ujian) itu.”

Mendengar penjelasan Abu Nawas yang sekaligus kritikan, Khalifah Harun al-Rasyid tertunduk malu, menyesal dan sadar. Rupanya, kedekatan Abu Nawas dengan Harun al-Rasyid menyulut iri dan dengki di antara pembantu-pembantunya.

Abu Nawas memanggil Khalifah dengan ”ya akhi” (saudaraku). Hubungan di antara mereka bukan antara tuan dan hamba.
Pembantu-pembantu khalifah yang hasud ingin memisahkan hubungan akrab tersebut dengan memutarbalikkan berita....
 

YhuLiz BLog's (Yulistyanda Sandi) Copyright © 2011 Design by Ipietoon Blogger Template | web hosting