Kamis, 10 Oktober 2013

Kisah Seorang Nelayan dan Jin-Bagian 14

Diposting oleh Unknown di 00.10 0 komentar
 Kisah Raja Pulau Hitam bag. 4

"Kau pasti segera sembuh kekasihku. Karena sekarang juga, aku akan pergi untuk menghapuskan sihirku dan mengembalikan seluruh kerajaan seperti sedia kala," katanya dengan semangat. Ratu bergegas pergi ke tempat danau ciptaannya. Ia menciduk air danau itu dengan tangannya dan mengucapkan mantra penghapus sihirnya. Sekejap kemudian danau itu berubah menjadi kota yang ramai. Ikan-ikan yang beraneka warna kembali menjadi warga kota. Para pengawal Sultan yang kemarin berkemah di pinggir danau terkejut saat tiba-tiba mereka berada di tengah-tengah kota.
Ratu yang telah kembali ke Istana Air Mata dan segera menemui Sultan yang masih berpura-pura sebagia kekasihnya.
"Kekasihku, aku telah melakukan tugasku. Kini bangkitlah dan sambutlah tanganku!" katanya.
"Mendekatlah!" kata Sultan.
Ratu segera mendekati Sultan. Lalu sebelum Ratu dapat melihat wajah orang yang berbaring di atas ranjang itu, dengan sangat cepat Sultan memegang tangan Ratu dan menusukkan pedangnya hingga ia tewas.
"Kini kau tidak bisa lagi berbuat kejahatan di bumi ini," kata Sultan.

Sultan segera menemui Raja muda yang sudah tidak sabar ingin mengetahui keberhasilan rencana Sultan. Ia begitu gembira saat melihat Sultan keluar dari Istana Air Mata dengan selamat.
"Gembiralah sahabatku! Karena kini penyihir itu telah binasa," kata Sultan.

Raja muda sangat berterima kasih atas pertolongan Sultan dan memintanya untuk tinggal lebih lama namun Sultan menolaknya.
"Semoga kau hidup bahagia di kerajaanmu," kata Sultan. "Mampirlah kapan-kapan ke istanaku karena kerajaanmu dan kerajaanku jaraknya tidaklah terlalu jauh."
"Sultan yang agung, apakah anda mengira bahwa letak kerajaan kita berdekatan?" tanya Raja muda.
"Tentu saja. Paling lama empat atau lima jam perjalanan," jawab Sultan.
"Tidak, Sultan yang agung. Itu karena anda datang ke sini di saat kerajaan ini masih terpengaruh sihir. Tapi karena kini semua telah kembali normal, maka sebenarnya letak kerajaan kita sangatlah berjauhan. Paling tidak satu tahun waktu yang harus dihabiskan untuk sampai ke kerajaanmu. Dan aku memutuskan untuk menemani perjalananmu. Aku akan menyerahkan tahtaku kepada saudaraku. Inilah mungkin kesempatanku untuk membalas kebaikanmu," kata Raja muda.

Sultan sangat terkejut saat mengetahui bahwa ia telah pergi begitu jauh dari kerajaannya.
"Tidak masalah," kata Sultan. "Perjalanan panjang yang akan aku lalui pasti tidak akan terasa berat dengan adanya kau bersamaku. Aku akan mengangkatmu sebagai anakku dan menjadikanmu pewaris tahtaku karena aku tidak memiliki seorang anak pun," kata Sultan.
Pernyataan Sultan disambut dengan pelukan hangat dari Raja muda tersebut.
Tiga minggu kemudian, semua persiapan untuk perjalanan panjang tersebut telah siap. Semua pejabat istana dan warga kota melepas kepergian raja mereka dengan penuh haru.

Perjalanan panjang mereka tempuh tanpa kesulitan yang berarti. Sultan dan para pengikutnya disambut hangat dan suka cita di kerajaannya. Esoknya Sultan mengumumkan keputusannya untuk mengangkat Raja Pulau Hitam sebagai anaknya dan penerus tahtanya.
Sebagai ucapan terima kasih kepada nelayan yang secara tidak sengaja menyebabkan kisah ini terjadi, Sultan menganugerahkan penghargaannya dengan menjadikan mereka keluarga bangsawan hingga ia dan keluarganya hidup berkecukupan hingga akhir hayatnya.

"Tapi tuanku, kisah tentang seorang kuli panggul di pelabuhan jauh lebih menarik daripada kisah-kisah yang telah kuceritakan," kata Sheherazade.
"Ada apa dengannya?" tanya Raja Syahriar.
"Begini kisahnya........."


-------
 
Bersambung...

Rabu, 09 Oktober 2013

Kisah Seorang Nelayan dan Jin-Bagian 13

Diposting oleh Unknown di 23.54 0 komentar
                               Kisah Raja Pulau Hitam bag. 3


Sultan menunggui Raja Muda itu hingga waktu subuh datang. Setelah itu ia bangkit, melepaskan mantelnya dan menyiapkan pedangnya. Lalu pergi ke Istana Air Mata. Puluhan lilin menyinari ruangan itu dan aroma parfum yang semerbak hampir membuat Sultan kehilangan kesadaran. Akhirnya ia menemukan budak itu terbaring di sebuah dipan. Ia segera membopongnya dan melemparkannya ke dalam sumur hingga ia tewas. Sultan mengambil alih tempat budak tersebut dan menyelimuti dirinya dengan selembar kain untuk meyembunyikan pedangnya.
Ratu datang beberapa saat kemudian setelah ia memberikan seribu cambukan kepada suaminya yang malang.
“Aduh, nsib buruk apa yang telah memisahkanku dengan cintaku?” ratapnya.
“Oh pangeranku!” katanya kepada Sultan yang ia sangka sebagai kekasihnya. “Bicaralah padaku meski hanya sekali! Katakan bahwa kau mencintaiku seperti yang sering kau ucapkan dulu. Maka aku akan merasa bahagia.”
Sultan dengan menirukan dialek orang negro menjawab lirih, “Tiada kekuatan kecuali atas izin Alloh swt.”
Wanita itu menjerit gembira. “Oh kekasihku…benarkah engkau yang berbicara?”
“Perempuan jahat! Kautidak pantas mendapatkan cinta dari siapapun!” kata Sultan.
“Apa? Kau menyakiti hatiku?” tangisnya.
“Setiap hari, teriakan-tangisan dan keluhan suamimu yang kau siksa dengan kejam mengganggu tidurku. Aku pasti bisa sembuh lebih cepat jika kau tidak menyihirnya. Itulah penyebab kebisuanku selama ini,” kata Sultan.
“Kalau begitu, kau ingin aku mengubahnya kembali menjadi manusia?” tanyanya.
“Ya! Dan suruh ia pergi dari sini sehingga teriakannya tidak lagi menggangguku!” kata Sultan.

Ratu segera berlari menuju ruangan tempat ia menyihir suaminya. Diambilnya segelas air yang telah ia bacakan mantra.
“Jika Sang Maha Pencipta telah menggariskan bentukmu yang sekarang sebagai takdirmu maka jangan berubah. Tapi jika kau seperti ini karena mantra yang kuucapkan maka berubahlah ke bentuk aslimu! ” katanya sambil melemparkan air mantranya.
Dalam sekejap raja muda tersebut bisa bangkit dari tempat duduknya. Ia mengucap syukur kepada Alloh atas pertolongan-Nya.
“Cepat pergi!” kata istrinya. “Dan jangan pernah kembali lagi!”
Raja muda berpura-pura pergi, padahal sebenarnya ia bersembunyi dan menunggu hasil rencana Sultan.

Ratu kembali ke tempat Sultan berada dengan kegembiraan yang tepancar di wajahnya.
“Aku telah melaksanakan perintahmu. Bangkitlah cintaku, sehingga aku bisa menggenggam tanganmu!” katanya.
“Aku tidak bisa sebelum kau melakukan satu hal lagi yang merupakan akar masalah dari penyakitku ini,” kata Sultan.
“Apakah itu? Katakanlah! Aku akan segera melakukannya,” kata wanita itu.
“Bagaimana mungkin kau tidak tahu,” teriak Sultan. “Setiap malam, warga kota yang telah kau sihir menjadi ikan menengadahkan kepalanya ke atas langit dan mendoakan kesialan bagi kita. Itulah yang membuat kesembuhanku berjalan lambat. Sekarang pergilah dan kembalikan keadaan negeri ini seperti semula. Setelah semua selesai, kau bisa mengenggam tanganku dan membantuku bangkit!”

-------
 Bersambung...

Kisah Seorang Nelayan dan Jin-Bagian 12

Diposting oleh Unknown di 23.50 0 komentar
 Kisah Raja Pulau Hitam bag. 2

Esoknya kulihat istriku memotong pendek rambutnya dan memakai baju duka.
“Wahai suamiku, jangan kaget melihat penampilanku,” katanya. “Aku baru saja menerima tiga kabar yang membuatku begitu berduka.”
“Kabar apa?” tanyaku.
“Pertama adalah kematian ibuku. Kedua bahwa ayahku telah terbunuh dalam peperangan dan ketiga bahwa adikku telah tewas karena terjatuh ke dalam jurang. Maka biarkan aku menangisi kepergian mereka,” kata istriku.
Aku tahu bahwa ia sebenarnya berduka karena kekasihnya tapi aku pura-pura tidak tahu dan berkata, “lakukanlah apa yang menurutmu baik. Aku tidak akan melarangmu!”

Ia menangis dan berduka selama satu tahun. Kemudian ia meminta ijin padaku untuk membangun sebuah kuburan yang indah dan aku mengijinkannya. Ia lalu membangun sebuah bangunan besar di tengah istana dengan kubah di atasnya dan menyebut tempat itu sebagai Istana Air Mata.
Ketika istana miliknya telah selesai, ia membawa tubuh kekasihnya ke dalamnya. Istriku ternyata menghidupkannya lagi dengan kekuatan sihir yang ia miliki, namun budak itu tidak bisa kembali seperti sedia kala. Ia hanya bisa membuka matanya tapi tidak bisa menggerakkan badannya. Pendek kata ia tidak hidup dan juga tidak mati. Istriku memberi budak itu semacam obat sehingga ia tetap hidup hingga saat ini. Setiap hari istriku pergi mengunjunginya sebanyak dua kali untuk melantunkan pujian-pujian cintanya kepada budak itu. Aku tetap pura-pura mengacuhkannya. Hingga ketika dua tahun berlalu aku mulai kehilangan kesabaranku. Aku lalu pergi ke dalam istananya dan mendengarnya berkata, “Oh betapa berat melihatmu seperti ini wahai kekasih. Seandainya aku bisa memikul sebagian penderitaanmu. Duhai kekasih, ucapkanlah sepatah kata dan aku akan bahagia. Aduh, aku bersedia menukar kebahagiaanku asal aku bisa melihatmu kembali hidup.”
Aku tidak dapat menahan kemarahanku. Aku mendekatinya dan berkata, “Cukup! Sudah saatnya kau menghentikan semua tangisan yang memalukan ini!”
“Suamiku, jika kau masih menghargaiku, aku minta biarkan aku dalam kesedihanku hingga waktu menyembuhkannya,” kata istriku.
Kemarahanku memuncak sehingga aku berkata, “Itu adalah ucapan seorang istri yang mengkhianati suaminya. Kenapa kau tidak mati saja bersama kekasihmu itu!”
Istriku segera menyadari bahwa akulah yang telah menikam kekasihnya. Ia segera bangkit dan memandangku dengan penuh kebencian.
“Ternyata engkaulah yang telah membuatku menderita. Ternyata tanganmulah yang telah membuat kekasihku menjadi seperti ini. Jadi kau datang kesini hanya untuk menertawakan kesedihanku?” ucapnya marah.
“Ya! Akulah yang menikamnya. Dan kau pun pantas mendapatkan perlakuan yang sama!” ucapku tak kalah marah.
Aku segera menghunus pedangku dan siap menikamnya. Tapi istriku mengucapkan kata-kata yang tidak aku mengerti.
Lalu dengan tersenyum ia berkata, “Dengan kekuatan shirku, jadilah kau setengah batu dan setengah manusia!”

Sejak itulah tuan,” kata Raja muda itu. “Aku menjadi seperti ini. Hidup tidak, matipun tidak.
Segera setelah menyihirku, ia memindahkanku ke ruangan ini. Ia menyihir seluruh kerajaan. Seluruh kota diubahnya menjadi sebuah danau. Penduduk kerajaanku terdiri dari empat macam golongan yaitu Muslim, Kristen, Yahudi dan Penyembah Api. Ia mengubah mereka menjadi empat jenis ikan. Putih untuk Muslim, merah untuk Penyembah api, biru untuk Kristen dan kuning untuk Yahudi. Dia juga menyihir empat pulau menjadi empat buah bukit dan menempatkannya di sekeliling danau. Dan sejak itu ia akan mendatangiku setiap hari untuk menyiksaku. Ia akan memberiku ratusan kali cambukan hingga seluruh tubuhku penuh dengan darah. Setelah puas, ia akan menyelimutiku dengan baju dari kulit kambing yang berbulu dan membuat seluruh kulitku gatal. Dan kemudian memakaikan baju kebesaranku di atasnya, bukan untuk menghormatiku, tapi semata-mata untuk menghina penderitaanku. Oh ya Alloh berilah aku kesabaran untuk menerima cobaanmu. Aku akan bersabar hingga mendapat pertolongan-Mu!” kata Raja muda itu sambil menangis.
Sultan sangat tersentuh mendengar cerita tersebut. Ia bertekad untuk menolongnya dan membalas kekejaman istri raja muda itu.
“Katakanlah! Dimana aku bisa menemukan wanita penyihir itu,” tanya Sultan.
“Tuanku, Ia pasti sedang berada di dalam Istana Air Mata yang ia bangun. Sebuah bangunan dengan kubah di atasnya. Ia akan mengunjungi tempat itu setiap pagi setelah menyiksaku, untuk memberinya ramuan obat yang membuatnya tetap hidup.”
“Demi Alloh! Aku akan menolongmu sehingga Alloh mencatatnya sebagai kebaikan,” kata Sultan.

-------
 
Bersambung...

Kisah Seorang Nelayan dan Jin-Bagian 11

Diposting oleh Unknown di 23.48 0 komentar
Kisah Raja Pulau Hitam

Masih ingat dengan Raja muda yang disihir menjadi setengah manusia dan setengah batu? Ini adalah kisah lanjutannya. Sultan merasa kasihan dengan nasib Raja penguasa Pulau Hitam itu. Ia bermaksud menolongnya dan menghancurkan sihir yang menimpa negeri itu. Tapi bagaimanakah caranya?

Bagian Kesatu

“Ayahku adalah raja negeri ini. Kerajaan Pulau Hitam, begitulah kami menyebutnya karena negeri kami terletak di antara empat gunung dan ibukotanya terletak di tempat danau itu berada sekarang. Aku akan ceritakan kenapa kota yang dulu megah dan ramai kini berubah menjadi sebuah danau. Ayahku bernama Mahmud. Setelah berkuasa selama 70 tahun, ayahku meninggal. Sebagai putra mahkota, aku menggantikannya memimpin kerajaan. Kemudian aku menikah dengan sepupuku yang sangat mencintaiku. Aku begitu bahagia dengan pengabdiannya dan cintanya padaku. Aku pun begitu mencintainya. Kami hidup bahagia. Namun setelah lima tahun bersama, aku mulai menyadari bahwa istriku sudah tidak mencintaiku lagi.
Suatu hari setelah makan malam, aku membaringkan tubuhku yang penat di atas bangku panjang sementara istriku pergi mandi. Aku sudah setengah tertidur saat itu. Dua orang dayang mengipasi tubuhku. Satu orang duduk di dekat kepalaku dan satu orang lagi duduk di dekat kakiku. Menyangka aku telah tertidur, keduanya berbincang-bincang dengan suara berbisik.
“Oh kasihan sekali tuan kita ini! Sungguh tidak beruntung memiliki istri yang tidak setia, padahal tuan begitu memujanya,” kata dayang yang duduk di dekat kepalaku.
“Ya. Dan aku tidak habis pikir kenapa tuan kita sampai tidak tahu istrinya pergi meninggalkannya setiap malam,” jawab yang lain.
“Bagaimana mungkin ia tahu,” kata dayang pertama. “Setiap malam ia akan memberi Tuan kita segelas jus yang telah dicampur ramu-ramuan. Jus itu akan membuat Tuan tertidur pulas sepanjang malam sehingga ia bebas pergi kemanapun ia suka. Esoknya ia akan menaruh parfum khusus di hidung Tuan untuk membangunkannya.”
Coba bayangkan apa yang kurasakan saat mendengarnya. Tapi aku mencoba menahan diri dan berpura-pura baru terbangun dari tidurku. Kedua dayang itu pasti menyangka aku tidak mendengar apapun.
Beberapa saat kemudian istriku kembali dari kamar mandi. Seperti biasa ia memberiku segelas jus yang di malam-malam sebelumnya selalu aku minum dengan senang. Tapi kali ini aku membuang isinya tanpa sepengetahuan istriku. Kemudian aku berpura-pura tertidur. Istriku yang menyangka aku telas pulas karena ramuannya, kembali bangun dari ranjang.
“Tidurlah! Dan kuharap kau tidak akan terbangun lagi selamanya,” teriaknya. Kemudian ia mempercantik dirinya dan segera meninggalkan kamar.
Segera setelah ia pergi, aku bangkit dan mengikutinya. Aku membawa pedangku untuk berjaga-jaga. Istriku berjalan dengan sangat cepat, melewati pintu-pintu istana yang terbuka dengan kekuatan sihir yang ia gumamkan. Ia terus berjalan melewati kota menuju pintu gerbang kota. Pintu itu dikunci dengan sebuah gembok yang kuat yang bisa ia buka dengan menggumamkan mantranya. Ia mengikuti jalan setapak yang menuju ke sebuah hutan kecil. Dan agak jauh di dalam hutan itu ada sebuah bangunan berbentuk kubah yang terbuat dari tanah. Istriku masuk ke dalam kubah tersebut sementara aku naik ke atapnya dan mengintip melalui celah-celahnya. Di dalamnya ada seorang budak hitam yang jelek berbibir tebal. Budak itu berbaring di atas tanah berdebu dengan hanya beralaskan daun-daun tebu kering.
Istriku menghampiri budak itu dan berkata, “Duhai cintaku, pemilik hatiku. Tahukah kau bahwa aku sangat menderita. Aku membenci suamiku dan aku tidak suka hidup bersamanya. Jika bukan karena aku takut kehilanganmu, aku pasti sudah menghancurkan negeri ini menjadi puing hingga tidak ada kehidupan yang tersisa kecuali serigala dan burung hantu. Dan kulemparkan semua batu-batu yang membangun dinding-dinding istana ini ke bawah gunung atau ke tempat jauh di luar peradaban.”
“Kamu wanita pembohong. Kau hanya ingin bersamaku demi kesenanganmu. Aku tidak mau bersamamu lagi. Kau wanita jalang!” kata budak hitam.
“Oh cintaku. Hanya engkau yang ada di hatiku. Jika kau mengusirku…alangkah sengsaranya aku!” tangis istriku.
Bayangkan betapa aku marah melihat semua ini!” kata Raja muda. “Maka aku diam-diam mendekati budak hitam itu saat mereka telah tertidur. Lalu aku menusuk lehernya dengan pedangku. Ia langsung terkulai dan aku menyangka bahwa ia telah mati. Kemudian aku meninggalkan mereka dengan hati puas dan kembali ke istana.
-------
 
Bersambung...

Kisah Seorang Nelayan dan Jin-Bagian 10

Diposting oleh Unknown di 22.05 0 komentar

Rahasia Istana Hitam
Sultan menunggu hingga semua pengawalnya tidur, lalu tanpa meninggalkan suara ia pergi meninggalkan perkemahan. Yang ditujunya adalah salah satu dari keempat bukit kecil yang mengelilingi danau. Ia menempuhnya tanpa kesulitan. Sultan terus berjalan sepanjang malam, sepanjang pagi hingga matahari mulai terik. Ia memutuskan untuk mencari tempat untuk beristirahat. Tampak di kejauhan sebuah bangunan berwarna hitam menjulang, maka sultan segera menuju ke tempat itu. Ternyata bangunan itu adalah sebuah istana yang terbuat dari marmer hitam yang mengkilat seperti cermin dan disangga dengan besi-besi yang kuat.
Didorong rasa penasaran yang menghantuinya, sultan mendekati isatan tersebut. Salah satu daun pintunya dalam keadaan terbuka. Sultan mengetuk pintu itu, mula-mula dengan ketukan halus. Satu kali, tidak ada jawaban. Kedua kali juga tidak ada jawaban. Raj mengetuk pinu itu unutk ketiga kalinya, kali ini dengan ketukan yang keras. Namun tetap tidak ada jawaban.
“Tidak mungkin tidak ada penghuninya,” pikir sultan. “Baiklah aku masuk saja. Toh aku sudah mengetuk.”
Sultan masuk ke istana tersebut.
“Assalamu alaikum…apakah ada orang di dalam? Aku seorang pengembara dan ingin beristirahat, “ teriak sultan.
Tidak ada sahutan. Sultan mengulanginya lagi berkali-kali tapi tetap tidak ada yang menyahut.
Sultan semakin penasaran, ia meneruskan langkahnya ke tengah istana. Tidak ada satu orang pun yang ditemuinya. Tapi barang-barang di istana ini terlihat sangat terpelihara dan berkualitas tinggi. Akhirnya sultan sampai di sebuah ruangan yang sangat luas. Lantainya tertutup permadani sutra yang sangat halus. Sofa-sofa dilapisi kain mecca yang mewah. Tirai-tirai sutra India berenda emas dan perak tergantung indah di setiap jendela.
Lalu sultan sampai di sebuah teras yang sangat indah. Empat patung singa terbuat dari emas menghiasi setiap sudutnya. Air yang sangat jernih mengalir dari mulutnya seperti air terjun kecil. Langit-langitnya dilukis dengan lukisan yang sangat menawan.
Istana itu dikelilingi oleh taman di ketiga sisinya. Bunga-bunga beraneka warna, air mancur-air mancur yang indah, dan ornamen-ornamen indah lainnya menghiasi taman tersebut. Ribuan burung beraneka jenis juga ikut menghidupkan taman itu dengan suaranya yang merdu. Sebuah jarring yang sangat lebar mengelilingi taman tersebut, mencegah burung-burung tersebut meloloskan diri.
Sultan berkeliling dari satu ruangan ke ruangan yang lain. Semuanya tampak luar biasa. Namun tak seorang manusia pun yang dijumpainya. Akhirnya sultan duduk melepaskan lelah di sebuah bangku yang menghadap taman. Lalu samara-samar terdengar sebuah tangisan, “Duhai nasib! Kau telah membuatku begitu menderita. Kau menghalangi kebahagiaanku! Dan kau memberiku istri terburuk dalam hidupku. Kumohon hentikanlah! Atau berilah aku kematian untuk mengakhiri penderitaanku.”
Sultan segera mencari asal tangisan tersebut. Ia melihat sebuah ruangan yang ditutupi oleh sebuah tirai. Ketika sultan menyibakkan tirai tersebut, ia melihat seorang pria yang sedang duduk di sebuah singgasana yang sedikit melayang di atas lantai. Pria tersebut berwajah sangat tampan dan berpakaian sangat mewah. Namun wajahnya memperlihatkan kesedihannya. Sultan mendekatinya dan mengucapkan salam. Pria itu membungkukkan badannya tanpa bangkit dari tempat duduknya.
“Maafkan aku,” katanya. “Seharusnya aku berdiri dan menyambutmu. Tapi sebuah kekuatan yang menahanku membuatku tak berdaya.”
“Tidak apa-apa anak muda,” kata sultan. “Aku mendengar tangisanmu. Pasti ada sesuatu yang membuatmu begitu menderita. Aku ingin sekali membantumu. Tapi, pertama-tama maukah kau memberitahuku tentang danau yang di dalamnya terdapat empat macam ikan yang berbeda warna? Dan kenapa ada istana di tempat terpencil ini? Dan kenapa kau hidup sendiri di sini?”
Mendengar pertanyaan sultan, pria itu kembali menangis pilu.
“Kenapa kau menangis?” tanya sultan.
“Oh betapa buruk nasibku! Apa yang bisa aku lakukan selain menangis,” katanya sambil menyibakkan jubah yang menutupi kakinya.
Raja terkejut karena ternyata badan pria itu hanya dari pinggang ke atas yang bisa digerakkan sedangkan dari pinggang ke bawah adalah batu marmer hitam.
“Apa yang terjadi denganmu? Aku yakin kekuatan yang mengubahmu juga berkaitan dengan terjadinya danau yang muncul tiba-tiba itu, dan juga adanya ikan dengan empat macam warna itu. Maukah kau menceritakannya padaku?” tanya sultan.
"Aku akan menceritakannya. Tapi cerita ini mungkin akan sulit diterima oleh akal,” katanya.
Lalu ia pun memulai kisahnya…
-------
 
Bersambung...

Kisah Seorang Nelayan dan Jin-Bagian 9

Diposting oleh Unknown di 03.16 0 komentar

Ikan-ikan yang aneh
“Tuanku,” kata Sheharazade, “setelah mendengar cerita ini, kita akan kembali ke si nelayan yang akan melemparkan jin Ifrit kembali ke tengah laut.”
“Nah Ifrit,” kata nelayan, “seandainya raja Yunan membebaskan guru Duban, mungkin Alloh juga tidak akan menghukumnya. Tapi ia menolak, dan kematianlah yang ia terima. Dan kau Ifrit, karena kau juga melakukan hal yang sama dengan raja Yunan, maka aku juga akan melakukan hal yang sama dengan guru Duban. Aku akan melelmparkanmu kembali ke laut.”
Ifrit menangis mendengar perkataan si nelayan, “Wahai nelayan, sekali lagi maafkan aku atas perbuatanku. Jangan membalas dendam, Sesungguhnya itu bukan bagian dari kebaikan hati. Tolong bebaskan aku, aku berjanji tidak akan menyakitimu!”
“Tidak!” kata nelayan.
“Aku akan membuatmu kaya seumur hidupmu,” kata jin.
Keinginannya untuk keluar dari kemiskinan membuat hati nelayan itu tergerak.
“Baiklah! Bersumpahlah kau atas nama Alloh yang Maha Kuasa bahwa kau tidak akan menyakitiku dan mengingkari ucapanmu!” kata nelayan.
Jin Ifrit mengucapkan sumpahnya, maka nelayan membuka penutup botolnya. Jin Ifrit keluar dari botol tersebut dan cepat-cepat melemparkan botol yang dipegang nelayan ke tengah laut, membuat si nelayan ketakutan.
Jin tertawa dan berkata, “Jangan khawatir! Aku tidak akan mengingkari janjiku. Sekarang ikutilah aku!”
Nelayan berjalan mengikuti jin hingga mereka tiba di sebuah danau yang luas dan jin itu berkata, “Lemparkan jalamu!”
Nelayan itu melihat banyak sekali ikan dengan berbagai warna: putih, merah, biru dan kuning. Ia melemparkan jalanya dan sangat yakin bahwa ia akan mendapatkan banyak sekali ikan yang terperangkap di jalanya. Tapi ternyata hanya empat ekor ikan dengan warna yang berbeda yang tertangkap.
“Bawa ikan ini ke istana dan persembahkan pada Sultan!” kata jin. “Dia akan memberimu uang yang banyak. Kau boleh datang ke sini setiap hari, tapi ingat! Kau hanya boleh melemparkan jalamu sekali sehari atau sesuatu yang buruk akan menimpamu!”
Setelah mengucapkan itu, Jin menghentakan kakinya ke tanah hingga terbelah. Sedetik kemudian tubuhnya menghilang ditelan bumi.
Nelayan membawa ikan itu pulang ke rumahnya dan menaruh mereka di dalam ember berisi air. Lalu ia membawanya ke hadapan Sultan. Sultan sangat senang dengan ikan pemberian nelayan karena baru pertama kali dalam hidupnya ia melihat ikan-ikan yang begitu cantik.
“Wah, ikan ini indah sekali! Kelihatannya sangat lezat. Terima kasih nelayan. Ini, terimalah hadiahmu!” kata sultan sambil memberikan empat ribu keping uang emas kepada nelayan.
Betapa bahagianya nelayan. Kini ia bisa membeli kebutuhan keluarganya.
“Wezir, bawa ikan ini kepada juru masak kita yang baru didatangkan dari Yunani itu! Ikan-ikan ini pasti selezat kecantikannya,” perintah sultan.
Wezir membawa ikan itu ke dapur dan menyerahkannya kepada juru masak supaya disiapkan untuk makan malam sultan.
“Kini tuanku,” kata Sheherazade. “Mari kita lihat apa yang terjadi di dapur istana.”
Juru masak istana segera membersihkan ikan-ikan tersebut, lalu menaruhnya di atas wajan dan memberinya sedikit minyak. Namun ketika ia akan membalik ikan-ikan tersebut, tiba-tiba tembok di hadapannya terbelah. Seorang gadis cantik keluar dari dalamnya. Ia mengenakan jubah biru yang terbuat dari satin, dengan anting-anting di telinganya, kalung mutiara tergantung di lehernya yang jenjang, serta cincin bermata rubi di jarinya yang lentik. Tanpa mempedulikan sang juru masak yang terkejut dengan kejadian aneh itu, ia melangkah mendekati penggorengan. Dengan sebatan tongkat di tangannya, ia mengetuk pinggir wajan dan berkata, “Hai ikan! Apakah kamu sedang melakukan tugasmu?”
Juru masak pun pingsan tak sadarkan diri.
Gadis itu mengulang pertanyaannya beberapa kali sebelum akhirnya ikan-ikan itu mengangkat kepalanya, “ya, ya! Jika kamu kembali kami pasti kembali. Jika kamu datang kami pasti datang. Dan jika kamu bersumpah, maka kami pun demikian!”
Lalu gadis itu mematikan api dengan tongkatnya lalu kembali menghilang ke dalam tembok yang segera menutup kembali seperti semula.
Juru masak istana yang baru sadar dari pingsannya, segera menengok ke dalam penggorengan dan mendapatkan bahwa ikan-ikan itu telah gosong. Ia sangat ketakutan, menyadari bahwa sultan akan murka.
“Aduh!” keluhnya, “Bagaimana aku melaporkannya pada sultan? Ia pasti tidak percaya jika aku menceritakan yang sebenarnya.”
Ketika ia tengah kebingungan, Wezir datang dan berkata “Juru masak, bawalah ikannya ke hadapan sultan!”
Juru masak dengan ketakutan menangis dan menceritakan kejadian aneh yang menimpanya. Wezir tercengang mendengarnya. Ia memutuskan untuk membuktikannya sendiri. Maka ia mengatakan kepada sultan bahwa karena satu dan lain hal, ikannya tidak jadi dihidangkan. Ia lalu memanggil nelayan dan memintanya untuk membawakan kembali ikan yang sama. Nelayan berjanji akan membawa ikan-ikan itu esok pagi.
Esoknya nelayan pergi ke danau dan kembali mendapatkan empat ekor ikan yang berbeda warna dan membawanya ke hadapan Wezir. Wezir membawanya ke dapur dan berkata kepada juru masak, “Masaklah! Aku ingin melihat sendiri kejadian yang kau ceritakan.”
Juru masak segera membersihkan ikan tersebut dan kemudian menaruhnya di atas wajan. Saat ikan-ikan tersebut telah matang di satu sisi dan siap dibalik, dinding di belakan wajan tersebut kembali terbelah. Dari dalamnya keluarlah gadis yang sama. Lalu dengan tongkatnya ia mengetuk-ngetuk wajan dan berkata: “Hai ikan! Apakah kamu sedang melakukan tugasmu?” Ikan-ikan itu mengangkat kepalanya dan menjawab dengan jawaban yang sama. Gadis itu mematikan api dengan tongkatnya lalu menghilang ke dalam tembok.
“Waw, sungguh luar biasa! Aku harus memberitahukannya pada sultan,” kata Wezir.
Sultan sangat penasaran mendengar cerita hebat tersebut.
“Aku harus melihat sendiri. Suruhlah nelayan untuk membawa ikan-ikan yang sama!” kata sultan.
Segera setelah nelayan menyerahkan ikannya dan menerima hadiahnya, Wezir membawanya ke ruang pribadi sultan. Wezir sendiri yang membersihkan dan menggoreng ikan-ikan tersebut di hadapan sultan. Dan seperti kemarin, ketika ikan sudah matang di satu sisi dan siap dibalik, tembok di belakang penggorengan itu terbuka. Namun kini yang datang bukanlah seorang gadis cantik melainkan seorang laki-laki negro yang berpakaian seperti pelayan. Negro ini bertubuh sangat besar dan membawa tongkat berwarna hijau ditangannya. Dengan tongkat itu ia mengetuk sisi penggorengan dan berkata dengan suaranya yang jelek, “Hai ikan! Apakah kamu sedang melakukan tugasmu?”
Dan ikan-ikan itu menjawab dengan jawaban yang sama. Negro itu melemparkan wajan hingga ke tengah ruangan dan mengubah ikan-ikan tersebut menjadi arang. Lalu ia pun menghilang ke dalam tembok yang segera menutup kembali.
“Kini aku yakin bahwa ikan-ikan ini bukan ikan sembarangan, aku harus mencari tahu. Panggillah segera nelayan untuk menghadapku!” kata sultan.
“Nelayan!” kata sultan setelah nelayan datang menghadap, “Dimana kau tangkap ikan-ikan itu?”
“Hamba menangkapnya dari sebuah danau yang terletak di antara 4 bukit kecil, di belakang gunung yang bisa tuanku lihat dari sini,” kata nelayan.
“Kamu tahu danau itu?” tanya sultan kepada Wezir.
“Tidak tuanku!” jawabnya. “Hamba belum pernah mendengarnya meskipun hamba sering berburu di sekitar gunung tersebut.”
Menurut nelayan, danau itu bisa ditempuh dalam waktu tiga jam, dan karena hari masih siang, sultan mengumpulkan beberapa pengawal termasuk Wezir untuk berangkat ke danau tersebut.
Mereka tiba di danau dan melihat bahwa danau itu sangat luas. Airnya begitu bening sehingga dasarnya bisa terlihat. Dan di dalamnya, ribuan ikan berenang, ikan merah, ikan, putih, ikan kuning dan ikan biru.
“Aku heran kenapa tak seoang pun dari kita yang pernah mendengar danau ini, padahal jaraknya begitu dekat dengan istana. Pasti ada sesuatu di balik semua ini. Demi Alloh, aku tidak akan kembali ke istana sebelum aku tahu penyebabnya!” kata sultan.
Ia lalu memerintahkan kepada pengawalnya untuk memasang tenda dan bermalam di sana.
Malamnya sultan memanggil Wezir.
“Kejadian ini sungguh membuatku penasaran. Danau yang yang tiba-tiba ada di sini, negro yang datang ke kamarku, ikan yang bisa bicara, semuanya sangat tidak biasa. Aku memutuskan untuk menyelidikinya sendiri. Tapi kau haus merahasiakan kepergianku. Berjagalah di depan tendaku. Jika siapapun ingin menemuiku, katakana bahwa aku sedang sakit dan tidak ingin diganggu. Lakukan itu hingga aku kembali!” perintah sultan.
-------
 
Bersambung...

Kisah Seorang Nelayan dan Jin-Bagian 8

Diposting oleh Unknown di 03.12 0 komentar

Kematian Guru Duban
“Tuanku,” kata Wezir kepada raja Yunan. “Kalau kau percaya pada cerita ini, kau akan mengerti bahwa suatu saat guru itu akan mencelakakanmu. Maka jangan jadikan ia kepercayaanmu ataupun pendampingmu. Tuanku, jika dia bisa membuat obat yang bisa menyembuhkan paduka tanpa diminum ataupun dioles, maka dia pun bisa membunuh paduka hanya dengan menyuruh paduka mencium aroma,” katanya.
Raja tertegun dan berkata, “Yang kau katakana itu masuk akal wahai Wezirku. Mungkin saja guru Duban itu adalah mata-mata musuhku. Dan ia bisa saja membunuhku dengan mudah. Lalu apa yang harus kulakukan?”
“Panggilah ia secepatnya, lalu bunuhlah. Ini untuk mencegah ia menjalankan rencananya menghancurkan paduka,” katanya.
Raja Yunan segera memberikan perintah untuk memanggil guru Duban. Sang guru datang dengan suka cita dn berkata:
“Semoga Alloh melindungi wahai Sultan. Janganlah kau memanggilku untuk mengucapkan rasa terima kasihmu lagi dan memberiku limpahan hadiah. Kini saatnya aku untuk memberikan baktiku. Katakanlah duhai Sultan, apa yang ingin kau perintahkan padaku?”
“Kau tahu kenapa aku memanggilmu?” tanya raja.
“Tidak ada yang mengetahui kata yang belum terucap, selain ia dan Alloh!” katanya.
“Aku memanggilmu untuk meyerahkan nyawamu!” kata raja.
Guru Duban tersentak kaget, “Apakah kesalahanku sehingga aku harus dihukum mati?”
“Ada yang mengatakan bahwa kau adalah mata-mata yang berencana membunuhku. Maka aku harus membunuhmu lebih dulu…” kata raja yang segera memanggil petugas eksekusi untuk memenggal kepala guru Duban.
“Ampuni aku,” kata guru Duban, “maka semoga Alloh akan mengampunimu. Jangan bunuh aku, maka semoga Alloh tidak akan mencelakakanmu!”
‘Ia mengatakannya berkali-kali seperti yang aku lakukan padamu wahai Ifrit, tapi kau tidak mau melepaskanku dan tetap ingin membunuhku,’ kata si nelayan kepada Ifrit.
“Aku tidak akan melepaskanmu karena aku takut kau nanti akan meracuniku. Yang bagimu merupakan sesuatu yang mudah, seperti kau dengan mudah menyembuhkanku,” kata raja Yunan.
“Oh inikah balasanmu atas kebaikanku?” tanya guru Duban.
“Aku harus membunuhmu secepatnya,” kata raja Yunan.
Guru Duban merasa bahwa raja sudah bulat tekadnya, maka ia berkata, “Ijinkan aku mengajukan permohonan terakhir!”
“Baiklah!” kata raja.
“Inikah balasanmu atas kebaikanku? Kau memperlakukanku seperti balas budinya seekor buaya,” kata guru Duban.
“Buaya apa?” tanya raja.
“Aku tidak bisa mengatakannya padamu dengan kondisiku yang seperti ini. Tapi demi Alloh. Ampunilah aku dan semoga Alloh mengampunimu,” tangis guru Duban.
Seorang pejabat istana memberanikan diri berkata, “Oh raja yang bijaksana, tolonglah pikirkan lagi. Hamba berani bersaksi bahwa guru ini tidak pernah melakukan perbuatan untuk menghancurkanmu. Ia bahkan menyembuhkan penyakit yang tuan derita, sementara tabib lain tidak bisa melakukannya.”
“kau tidak tahu apa-apa,” kata raja. “Seperti yang kubilang. Dia bisa menyembuhkanku dengan mudah, maka ia pun dapat membunuhku dengan mudah. Aku hanya membela diriku!”
‘Kini, Oh Ifrit, guru itu tahu bahwa raja sudah bulat dengan keputusannya dan tidak ada jalan baginya untuk menyelamatkan diri.
“Tuan, kematianku sudah tidak bisa ditawar lagi, dan aku menerimanya sebagai takdirku!” kata guru Duban. “Tapi berilah aku sedikit kelonggaran waktu. Ijinkan aku untuk pulang ke rumah terlebih dahulu utnuk membereskan urusanku. Dan untuk berpamitan dengan keluargaku serta memberi mereka amanat. Juga untuk membereskan buku-buku pengobatanku terlebih dulu. Aku memiliki satu buku yang sangat istimewa. Aku akan menghadiahkannya untuk paduka.”
“Buku apa itu?” tanya raja.
“Buku itu berisi banyak hal rahasia yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Salah satunya adalah: jika nanti kepalaku telah dipenggal, dan kau meletakan kepalaku di sebuah tempat, kemudian membuka tiga halaman pertama buku itu dan membaca tiga baris pertamanya, kepalaku akan menjawab apapun yang kau tanyakan,” kata guru Duban.
Raja sangat senang mendengarnya, maka ia mengijinkan guru Duban untuk pulang ke rumahnya dengan pengawalan yang ketat.
Esoknya, kebun istana telah dipenuhi para pejabat termasuk seorang eksekutor yang akan memenggal kepala guru Duban.
Guru Duban datang menghadap dengan membawa sebuah buku tua dan sekantung bubuk putih. Dia meminta sebuah baki lalu menaburkan bubuk itu di atasnya.
“Wahai raja, ambilah buku ini! Jangan kau buka dulu sebelum ekesekutor itu memenggal kepalaku. Segera letakkan kepalaku di atas baki ini. Bubuk ini akan menghentikan pendarahannya. Lalu bukalah buku ini!” katanya. “Tapi tuan, untuk terakhir kalinya aku katakana bahwa aku bukanlah seperti yang kau tuduhkan!”
“Sia-sia saja kau membela diri,” kata raja dan memerintahkan untuk segera mengeksekusi guru Duban.
Segera setelah kepala guru itu terpenggal, raja meletakannya di atas baki dan kemudian membuka lembar pertama buku tersebut. Tapi halaman tersebut ternyata lengket dengan halaman berikutnya. Maka raja menjilat jarinya sehingga dia bisa dengan mudah memisahkan halaman yang lengket tersebut. Raja terus membuka halaman demi halaman, namun tidak ada satu kalimat pun yang tertulis di lembarannya.
“Kenapa tidak ada apapun disini,” tanya raja kepada kepala guru.
“Bukalah terus halamannya,” kata kepala guru.
Raja membuka kembali halaman berikutnya dan terus menjilat jarinya untuk memisahkan halaman demi halaman. Tanpa disadarinya, raja telah menjilat racun yang dengan sengaja dibubuhkan guru Duban di buku tersebut. Semakin banyak halaman yang terbuka, semakin banyak racun yang diisapnya. Dan ketika racun itu bereaksi raja merasa bahwa kepalanya menjadi berat.
“Penguasa!” kata kepala guru Duban. “Waspadalah saat kau menggunakan kekuasaanmu untuk menganiaya orang tak berdosa! Cepat atau lambat, Alloh akan menghukummu atas ketidakadilanmu dan kejahatanmu!”
Raja menjerit hebat sesaat sebelum kepalanya terkulai dan ia pun tewas.
-------
 
Bersambung...

Kisah Seorang Nelayan dan Jin-Bagian 7

Diposting oleh Unknown di 03.11 0 komentar
Pangeran dan Hantu Pemakan Manusia

Raja yang diceritakan tersebut memiliki seorang putra yang sangat dicintainya. Raja menugaskan seorang Wezir untuk menemaninya kemanapun ia pergi.
Suatu hari pangeran dan wezir pergi berburu ke hutan dengan ditemani serombongan kecil pengawal. Tiba-tiba seekor binatang buas muncul di hadapan mereka. Wezir berseru kepada pangeran, “kejar binatang itu!”
Maka pangeran mengejar binatang itu hingga tanpa ia sadari, ia telah terpisah dari rombongannya.
Binatang itu lari semakin cepat dan menghilang di tengah sabana. Saat itu barulah pangeran menyadari bahwa ia telah tersesat. Di tengah kebingungannya mencari jalan pulang, pangeran melihat seorang gadis yang sedang menangis. Ia menghampirinya dan bertanya siapakah ia.
“Aku adalah seorang putri raja dari India. Saat melewati padang sabana ini, tiba-tiba aku mengantuk dan tertidur sehingga aku jatuh dari kudaku. Begitu kerasnya aku terjatuh, hingga aku langsung tak sadarkan diri. Saat aku siuman, para pendampingku telah pergi dan aku tertinggal di sini,” katanya.
Pangeran merasa iba mendengarnya. Ia lalu membawanya bersamanya. Beberapa saat kemudian saat mereka melewati sebuah reruntuhan, gadis itu berkata, “Oh tuan, ijinkanlah aku untuk turun sebentar.”
Pangeran membantunya turun dan gadis itu segera menuju ke arah reruntuhan tersebut. Pangeran menunggu beberapa saat namun gadis itu tidak kunjung kembali. Karena khawatir terjadi sesuatu dengannya, maka ia memutuskan untuk menyusulnya.
Ia terkejut karena ternyata gadis itu tidak lain adalah hantu pemakan manusia. Ia mendengarnya berkata, “anak-anakku, hari ini aku membawakan kalian seorang pemuda yang gemuk.”
“Bawa kemari segera, oh ibu. Kami sudah tidak sabar untuk memakannya,” kata hantu lainnya.
Pangeran gemetar ketakutan. Ia merasa dia tak akan sanggup melawan dan kali ini ia akan mati. Hantu wanita itu mendekati pangeran yang ketakutan.
“Mengapa kau ketakutan?” tanyanya.
“Aku memiliki musuh yang sangat aku takuti,” jawab pangeran.
“Bukankah kamu seorang pangeran?” tanyanya.
“Ya!”
“Kenapa tidak kau beri saja musuhmu itu uang, lalu berdamai dengannya?” tanyanya.
“Dia bukan tertarik pada uangku, yang ia inginkan hanyalah nyawaku! Aku ini adalah orang yang tak berdaya,” jawab pangeran.
“Kalau kau tidak berdaya, kenapa kau tidak berdoa kepada Alloh dan meminta pertolongan? Dia akan menolongmu menyingkirkan musuhmu itu!” katanya.
Pangeran segera menegadahkan tangannya dan berdoa, “Ya Alloh yang mengabulkan semua doa. Wahai Engkau yang dapat menghalau semua kajahatan, lindungilah aku. Dan jauhkanlah ia yang bermaksud buruk padaku. Karena hanya Engkaulah yang Maha Kuasa…”
Hantu itu tidak bisa lagi mendengar kelanjutan doa pangeran, karena sebuah kekuatan ghaib telah membuatnya menghilang dari hadapan pangeran. Maka pangeran pun bergegas pergi meninggalkan tempat itu dan pulang ke kerajaannya. Ia melaporkan peristiwa yang dialaminya.
Lalu raja memerintahkan untuk memeberikan hukuman yang berat kepada Wezir yang gagal melindungi putranya.

Kisah Seorang Nelayan dan Jin-Bagian 6

Diposting oleh Unknown di 02.45 0 komentar
Kisah Suami yang Membunuh Burung Nurinya

Adalah seorang saudagar yang sangat pencemburu. Ia memiliki seorang istri yang sangat cantik. Karena sifat pencemburunya, ia hampir tidak pernah mengijinkan istrinya keluar rumah.
Suatu hari si saudagar harus bepergian selama beberapa hari ke luar kota. Karena ia takut istrinya berbuat macam-macam selama kepergiannya, maka ia pergi ke sebuah took burung dan membeli seekor burung nuri. Ia akan menjadikannya mata-mata, karena burung nuri adalah burung yang sangat pintar dan selalu ingat apapun yang didengarnya. Dia menempatkannya di sebuah sangkar di dalam rumah untuk mengawasi tingkah laku istrinya.
Saat ia pulang dari bepergian, yang pertama dilakukannya adalah menanyai burung nurinya mengenai tingkah laku istrinya.
“Istri tuan memiliki seorang kekasih, yang mengunjungi setiap malam selam tuan tidak ada,” katanya.
Saudagar sangat marah mendengarnya. Ia lantas memanggil istrinya dan memukulinya.

Istri saudagar mengira bahwa salah satu pelayan telah mengadukan rahasianya kepada suaminya. Namun saat ia menanyai mereka, tak ada satupun yang mengakuinya. Salah seorang pelayan mengatakan bahwa ia mendengar burung nuri tuannya yang membocorkan rahasia tersebut.
Pada kesempatan lain, saudagar itu harus kembali pergi ke luar kota. Kali ini si istri memanggil tiga orang pembantunya. Yang seorang diperintahkannya untuk menggosok batu api sepanjang malam di bawah kandang burung nuri, seorang lagi disuruhnya untuk menyiramkan air dari atas kandang si burung, dan yang terakhir disuruhnya untuk memasang papan di sekeliling kandangnya sehingga ia tidak bisa melihat apapun.
Saudagar segera menginterogasi burng nurinya sekembalinya ia dari bepergian.
“Oh tuan,” katanya. “Aku tidak bisa melihat apapun selain gelap dan petir, dan hanya mendengar bunyi guntur dan suara hujan sepanjang malam.”
“Apa maksudmu? Tidak mungkin ada hujan di musim panas,” kata saudagar.
Burung nuri itu bersumpah atas nama Alloh bahwa ia mengatakan yang sebenarnya. Tapi saudagar itu tidak percaya dan dengan marah membanting burung nurinya hingga tewas.

Tapi beberapa waktu kemudian, seorang pelayannya menceritakan hal yang sebenarnya. Awalnya dia tidak mau mempercayainya sampai ia melihat dengan mata kepalanya sendiri istrinya berselingkuh dengan pria lain. Saudagar yang marah, menghunus pedangnya dan membunuh keduanya.
Kini ia menyesal telah meragukan kesaksian burung nurinya dan menyesal telah membunuhnya. Namun apa daya semua telah terlanjur. Burung nurinya tidak mungkin kembali lagi.
Sang Wezir, setelah mendengar cerita raja Yunan berkata, ”Oh rajaku yang agung, apakah maksud tuan dengan menceritakan kisah itu? Apakah tuan berpikir bahwa aku berencana untuk memusuhimu? Tidak, tidak, tuan! Sebaliknya aku memberikan informasi ini karena rasa cintaku kepada tuan dan khawatir dia akan mencuri kebahagiaan tuan. Jika perkataanku tidak benar maka hukumlah aku, seperti raja yang menghukum Wezirnya.”
“Siapakah mereka?” tanya raja.

Dan sang Wezir menjawab….
-------
 
Bersambung...

Kisah Seorang Nelayan dan Jin-Bagian 5

Diposting oleh Unknown di 02.42 0 komentar
Kisah Raja Dan Burung Elang


‘Wahai Wezirku, dahulu ada seorang Raja bernama Sindibad yang sangat senang berburu. Ia memiliki seekor elang yang sangat disayanginya. Kemanapun ia pergi, ia selalu membawa elangnya di tangan kirinya. Ia bahkan membuatkan sebuah cangkir emas khusus untuk tempat minum elangnya, yang ia kalungkan di leher sang elang. Pagi itu Raja sedang menikmati semilir angin di taman istananya yang indah, saat pelayan yang khusus merawat elangnya datang menghadap.
“O Raja yang mulia, hari ini adalah saat yang tepat untuk berburu.”
Tanpa menjawab, Raja bangkit dan memanggil elang kesayangannya dengan sebuah suitan. Sang elang segera hinggap di tangan kiri Raja Sindibad.

Rombongan Raja Sindibad tiba di hutan tempat mereka biasa berburu. Sebuah perangkap berupa jaring besar telah dipasang dan tidak berapa lama seekor kijang terperangkap di dalamnya.
“Jangan biarkan kijang itu lepas,” teriak raja pada para pengawal yang sedang melepaskan kijang itu dari jaring. “Kalau sampai kijang itu lepas, aku akan memenggal leher orang yang menyebabkannya. Siapapun ia!”

Para pengawal membawa jaring berisi kijang itu ke hadapan Raja. Tiba-tiba kijang itu membungkukkan badannya seolah-olah ia sedang memberi hormat kepada Raja. Raja Sindibad membalasnya dan WUTT !! dengan satu kali lompatan kijang itu melompati Raja Sindibad dan melarikan diri. Para pengawal mulai berbisik-bisik. “Apa yang mereka bicarakan? Apakah mereka membicarakanku?” tanya Raja kepada Wezirnya.
“Mereka sedang membicarakan perkataan Tuan yang tadi, yaitu bahwa Tuan akan memenggal leher siapapun yang menyebabkan kijang itu lepas,” jawab Wezir.
“Demi Tuhan, aku akan mengejar kijang itu kemanapun ia pergi dan membunuhnya!” teriak Raja murka.

Ia segera menaiki kudanya dan memacunya mengikuti jejak-jejak kaki kijang buruannya hingga mereka semua tiba di kaki sebuah bukit dimana kijang itu tersudut. Elang kesayangan Raja menyerang kijang dan mematuk matanya hingga buta. Lalu Raja melepaskan anak panahnya dan tepat mengenai jantung kijang. Seorang pengawal segera menyembelih kijang itu sebelum ia mati. Raja Sindibad lega karena telah berhasil menyelamatkan lehernya sendiri. Raja memutuskan untuk menghentikan perburuan karena mereka telah sangat jauh memasuki hutan. Para pengawal menaikkan hasil buruan ke atas kuda dan mereka bertolak untuk kembali ke istana.
Matahari begitu terik hari itu. Raja merasa sangat kehausan. Sayang, air perbekalan mereka telah habis. Raja terpaksa harus menahan rasa kering di tenggorokannya.
“Tuan Raja. Di depan ada mata air!” teriak seorang pengawal.
Di tempat yang ditunjuk si pengawal, tampak tetesan-tetesan air dari sebatang pohon besar yang berkumpul membentuk mata air.
Raja turun dari kudanya, mengambil cangkir emas dari leher elangnya lalu mengisinya dengan air. Ia hampir meminumnya ketika elang kesayangannya menyenggol cangkir di tangannya hingga terbalik.
“Mungkin ia sangat kehausan,” pikir Raja.
Raja mengisi kembali cangkirnya dan menyodorkannya kepada elang. Elang itu menolak, menyepaknya dengan cakarnya hingga air di cangkir itu tumpah. Raja mulai kesal tapi ia menahan amarahnya dan kembali mengisi cangkir tersebut. Ia menyodorkan air itu ke kudanya. Lagi-lagi elangnya menumpahkannya.
“Demi Alloh, engkau adalah binatang pembawa sial!” teriak Raja marah.
Ia menghunus pedangnya dan menyabet sayap elang kesayangannya hingga putus. Elang yang malang itu memberi isyarat kepada Raja menunjuk ke atas pohon dengan paruhnya. Dan tampaklah oleh Raja, di atas pohon itu tergantung bangkai ular yang sangat besar. Dari mulutnya menetes bisanya yang beracun dan bercampur dengan mata air yang hendak diminumnya.

Raja jatuh terduduk. Ia memeluk elang kesayangannya dengan penuh penyesalan. Air matanya jatuh dan untaian kata penyesalan berhamburan dari mulutnya. Raja membawa elang dalam dekapannya secepatnya ke istana untuk mendapatkan pertolongan. Sayang, sang elang kehilangan banyak darah dan ia mati dalam dekapan Raja.
Wezirku! Sekuat apapun Raja Sindibad menyesali perbuatannya, elang kesayangannya tak pernah bisa kembali. Dan aku takut wahai Wezirku, penyesalan yang sama akan datang padaku juga seperti kisah seorang suami yang membunuh burung nuri kesayangannya.’ Kata Raja Yunan.
“Seperti apa kisahnya, Rajaku?” tanya Wezir.
“Begini…”

-------
 
Bersambung...

Kisah Seorang Nelayan dan Jin-Bagian 4

Diposting oleh Unknown di 02.30 0 komentar
Kisah Raja Yunan dan Guru Duban
‘Dengarlah wahai Ifrit, dahulu kala di sebuah negeri benama Yaman di daratan Persia ada seorang raja bernama raja Yunan. Sebenarnya dia adalah keturunan Yunani. Beliau sangat kaya raya dan terkenal dengan keberaniannya. Sayang dia menderita penyakit kusta yang tidak kunjung sembuh. Puluhan tabib telah dipanggilnya, namun tidak ada satu obat pun yang bisa menghilangkan kusta dari tubuhnya.
Suatu hari datanglah di negeri itu seorang guru bernama Duban. Dia sudah mendalami berbagai ilmu dari Yunani kuno sampai yunani modern, dari Persia hingga syiria. Dia ahli dalam pengobatan maupun astrologi. Keahliannya membuat kagum tabib-tabib lainnya dan juga para ilmuwan.
Ketika guru Duban mendengar tentang penyakit yang diderita raja Yunan, dia bermaksud untuk mencoba mengobatinya. Maka dipelajarilah kembali berbagai buku untuk mencari obat yang paling manjur.

Esoknya dia menghadap raja Yunan. Setelah memberikan penghormatan, disampaikanlah maksud kedatangannya yaitu untuk mengobati penyakit kusta raja.
“Tuanku, saya dengar bahwa belum ada satu tabib pun yang bisa menyembuhkan penyakit paduka. Jika paduka mengijinkan InsyaAlloh saya bisa menyembuhkannya tanpa obat ataupun salep!” katanya.
“Bagaimana caranya? Demi Alloh, jika kamu bisa menyembuhkanku, aku akan memberikan apapun yang kau mau Harta yang banyak untukmu dan anak cucumu, dan kamu akan kujadikan penasihat dan sahabat terbaikku” kata raja
“InsyaAlloh saya bisa menyembuhkan paduka. Besok saya akan mulai pengobatannya,” kata tabib Duban. Kemudian ia memohon diri untuk mempersiapkan segala sesuatunya.

Guru Duban kemudian membuat sebuah stik golf yang diberi lubang di pegangannya. Di lubang itulah tabib Duban memasukan obat racikannya. Kemudian ia juga membuat sebuah bola sebagai pelengkapnya.
Keesokan harinya guru Duban kembali menghadap raja. Dia mengajak raja ke lapangan istana. Kemudian memberi raja stik golf buatannya dan sebuah bola. Dimintanya raja untuk memukul bola tersebut sambil menunggang kuda.
“Pukullah bolanya dengan sekuat tenaga. Saat badan paduka berkeringat, maka panas tubuh bafinda akan membuat obat yang ada di dalam stik golf ini ke seluruh tubuh paduka. Setelah itu paduka boleh kembali ke istana untuk mandi air hangat. Pastikan untuk menggosok tubuh paduka hingga bersih. Lalu istirahatlah. InsyaAlloh besok penyakit baginda akan sembuh,” katanya.
Raja Yunan lalu melakukan semua saran guru Duban.

Ketika raja terbangun keesokan paginya, dia melihat bahwa kulitnya telah halus. Tidak ada tanda-tanda bahwa dia pernah menderita kusta. Kulitnya putih bersih tanpa noda.
Raja sangat bersuka cita. Dia segera memerintahkan utusan untuk menjemput tabib Duban ke istana. Sambil berkali-kali mengucapkan rasa terima kasihnya, raja memberikan berkantung-kantung emas, lusinan pakaian-pakaian mewah dan hadiah-hadiah lainnya. Sesuai janjinya raja juga mengangkat guru Duban menjadi penasihat pribadinya dan mendudukannya di samping singgasananya.

Di antara pejabat kerajaan, ada seorang Wezir yang menaruh benci terhadap tabib Duban. Dia cemburu dengan semua perhatian dan kebaikan raja terhadap guru Duban.
Suatu hari sang Wazir menghadap raja secara pribadi.
“Wahai paduka raja yang adil, hambamu ini ingin menyampaikan sebuah nasihat untuk paduka. Saya akan menjadi orang terkutuk jika tidak menyampaikannya pada paduka,” katanya.
Raja terkejut mendengarnya dan bertanya, “nasihat apa?”
“Oh paduka yang mulia. Para leluhur pernah berkata, ‘Barangsiapa yang tidak bisa melihat tujuan, keberuntungan tidak akan datang padanya. Dan kini saya melihat raja sedang membuat kekeliruan. Sejak ia menganugerahi seorang musuh dengan kebaikan. Seorang musuh yang menginginkan kerajaan ini hancur. Dia menganugerahinya kebaikan, kekuasaan dan menjadikannya penasihatnya,” katanya.
“Siapakah teman yang kau maksud itu?” tanya raja.
“Paduka, tentu saja yang saya maksud adalah penasihat paduka, guru Duban!” kata wazir.
“Dia adalah teman terbaikku,” kata raja. “Dan dialah yang telah menyembuhkan penyakit yang tidak bisa disembuhkan oleh tabib lain. Karena dialah aku bisa menyingkirkan rasa malu yang dulu menderaku karena penyakitku. Aku tidak akan menemukan orang sehebat dia di seluruh negeri. Tapi kenapa kau menentangnya? Aku telah memerintahkan pegawaiku, untuk memberikannya gaji 1000 keping emas setiap bulannya, dan bahkan jika aku memberikan sebagian kerajaanku padanya, masih tidak akan cukup mewakili rasa terima kasihku.”
"Oh tuanku, bagaimana kau yakin bahwa dia tidak menipumu? Sesungguhnya aku mengatakan hal ini karena rasa baktiku padamu," kata Wezir.
“Benarkah tidak ada maksud lain dari perkataanmu ini wahai Wezir? Aku takut kau melakukan ini karena rasa cemburu. Jika aku mengikuti nasihatmu, aku takut aku akan menyesal seperti seorang suami yang membunuh burung kakak tuanya. Aku akan menceritakan kisahnya padamu.” Kata raja.

Maka oh Ifrit, raja pun memulai ceritanya…
-------
 
Bersambung...

Kisah Seorang Nelayan dan Jin-Bagian 3

Diposting oleh Unknown di 02.26 0 komentar
Mendengar cerita Ifrit tersebut si nelayan berkata, “Wahai Jin, dengan nama Alloh maafkanlah aku yang telah membebaskanmu di waktu yang salah dan tolong jangan bunuh aku.”
“Tidak bisa! Aku pasti akan membunuhmu, itulah sumpahku! Sekarang cepat pilih dengan cara apa aku membunuhmu!” bentak jin.
“Oh betapa sialnya aku yang telah menolong makhluk yang tidak tahu berterima kasih. Maafkan aku maka Alloh akan memaafkanmu. Tapi jika kau berbuat jahat padaku, maka Alloh pasti akan membalasnya dengan azab-Nya.” ratap nelayan.
“Hei nelayan, kematianmu adalah hal yang pasti, karena itu adalah sumpahku! Dan aku tidak pernah melanggar sumpah yang kuucapkan!” kata Jin.

Nelayan itu menyadari bahwa keputusan jin ifrit sudah tidak bisa diubah lagi. Ia sedih teringat anak-anaknya dan nasib mereka jika ia mati. Namun di saat itu tiba-tiba muncul sebuah ide.
“Wahai Jin, kematianku sudah di depan mata, dan aku menerimanya sebagai takdirku. Tapi sebelum aku memilih caraku mati, atas nama Alloh yang namanya tercetak di atas segel yang mengunci botol ini, maukah kau menjawab dengan jujur satu pertanyaanku?” tanya nelayan.
Mendengar nama Alloh, tubuh Jin itu gemetar ketakutan. “Baiklah, aku bersumpah atas nama Alloh akan menjawab dengan jujur pertanyaanmu.”
“Benarkah kau pernah terkurung di dalam botol ini?” tanya nelayan.
“Ya, betul!” jawab Jin.
“Sebenarnya aku tidak percaya dengan ceritamu. Botol ini bahkan tidak bisa memuat kakimu yang besar, bagaimana mungkin ia bisa memuat seluruh tubuhmu,” kata nelayan.
“Kamu tidak percaya ceritaku?” tanya jin dengan marah.
“Aku tidak percaya sampai aku melihatnya sendiri,” tantang nelayan.
“Baiklah akan kubuktikan padamu!” seru Jin.

Sedikit demi sedikit tubuh jin Ifrit berubah menjadi asap dan masuk kembali ke dalam botol.
“Nah nelayan, sekarang kau percaya dengan ceritaku?” teriak Jin dari dalam botol.
Namun si nelayan dengan cepat menutupnya dan berkata, “Hei Ifrit, sekarang giliranmu untuk memilih cara mati yang kau inginkan! Tapi tidak! Lebih baik aku melemparkanmu kembali ke tengah laut! Aku akan membangun rumah di sini dan selama sisa hidupku aku akan mencegah siapapun yang ingin mencari ikan di sini. Akan kukatakan bahwa disini ada jin jahat yang akan membunuh siapapun yang membebaskannya dari dalam botol.”
Mendengar perkataan si nelayan, jin Ifrit menangis dan memohon agar si nelayan membebaskannya.
“Bukankah sudah kubilang padamu jin, jika kau menyelamatkanku maka Alloh akan menyelamatkanmu. Tapi kau tidak mau. Maka inilah balasannya!” kata nelayan.
“Tolong bebaskan aku,” ratap jin.
“Kamu pembohong! Aku dan kamu seperti Wezirnya raja Yunan dengan guru Duban!” kata nelayan.
“Siapakah mereka?” tanya Ifrit.
“Aku akan menceritakannya padamu!”

Dan nelayan itu pun memulai ceritanya…. 

Bersambung...

Kisah Seorang Nelayan dan Jin- Bagian 2

Diposting oleh Unknown di 01.43 0 komentar

Dia mengangkat botol tersebut, ternyata berat sekali. “Pasti ada sesuatu di dalamnya,” pikir nelayan.
“Aku harus tahu isinya. Siapa tahu isinya barang berharga,” pikirnya lagi.
Dia mengambil pisau untuk merobek segelnya, kemudian membuka penyumbatnya. Digoncangnya botol tersebut untuk mengeluarkan isinya. Tapi tidak ada apapun di dalamnya selain segulung asap berwarna kelabu. Asap itu naik ke udara dan lama-kelamaan membentuk sesosok Jin Ifrit yang tinggi besar. Demikian tingginya hingga kepalanya yang sebesar kubah hampir menyentuh awan. Mengerikan sekali ia, tangannya seperti garpu raksasa, kakinya sebesar tiang kapal, bibirnya menyerupai gua besar, lubang hidungnya seperti terompet, matanya menyala seperti lampu dan rambutnya yang kelabu tampak kusut awut-awutan.
Terkejut dan takut, itulah yang dirasakan si nelayan. Lututnya hampir-hampir tak sanggup menyangga tubuhnya, giginya gemeletuk ketakutan dan ia hampir tidak bisa menelan air ludahnya yang tiba-tiba mengering.
Suara jin Ifrit terdengar menggelegar saat berkata pada si nelayan, “Tiada Tuhan selain Alloh dan Sulaiman utusan Alloh. Wahai nabi Alloh janganlah kau membunuhku. Aku berjanji tidak akan menentang perkataanmu ataupun mengkhianatimu.”

“Oh, Jin” kata nelayan, “Nabi Sulaiman, raja terkaya sepanjang masa, telah meninggal delapan ribu tahun yang lalu dan kini adalah akhir zaman. Ceritakan padaku wahai jin, kenapa kau bisa terkurung di dalam botol ini?”
Jin menatap si nelayan dan berkata, “siapakah kamu yang berani memanggilku dengan sebutan Jin?”
“Lalu apakah aku harus memanggilmu setan yang baik?” tanya nelayan.
“Jaga bicaramu, sebelum aku membunuhmu!” seru Jin.
“A..apa? Kenapa kau ingin membunuhku? Bukankah aku sudah membebaskanmu dari dalam lautan dan melepaskanmu dari botol yang mengurungmu?” tanya nelayan ketakutan.
“Tentu saja aku ingat! Tapi aku tetap akan membunuhmu. Aku hanya akan memberimu satu kebaikan,” kata Jin.
“Apakah itu?” tanya nelayan.
“Kau boleh memilih dengan cara bagaimana kau ingin mati.” kata Jin.
“Tapi kenapa? Bagaimana bisa kau membalas kebaikanku dengan perbuatan jahat,” kata nelayan.
“Aku tidak bisa membalasmu dengan kebaikan,” katanya. “Kalau kau ingin tahu sebabnya, dengarlah kisahku!”
“Aku adalah jin yang menentang ajaran Sulaiman anak Daud. Lalu Sulaiman mengirim Asaf bin Barkhiya sang Wezir agung untuk menangkapku dan menghadapkanku kepada Sulaiman. Dia menyuruhku untuk beriman kepada Alloh dan mengakui kenabiannya, tapi aku menolak. Maka ia menjebloskanku ke dalam botol ini. Dan supaya aku tidak bisa meloloskan diri ia menyegelnya dengan nama Alloh, lalu menyuruh beberapa orang jin untuk melemparkanku ke tengah lautan.
Begitulah aku terkurung di dalam botol ini selama seribu tahun. Saat itu aku bersumpah dalam hati, jika ada seseorang yang bisa membebaskanku dari botol ini maka aku akan membuatnya kaya seumur hidupnya. Namun seribu tahun berlalu dan tak ada seorang pun yang datang membebaskanku.
Kemudian aku bersumpah akan menunjukkan semua harta karun yang ada di bumi kepada siapapun yang bisa membebaskanku, tapi empat ribu tahun berlalu dan tak ada yang datang.
Lalu aku bersumpah akan menjadikan siapapun penolongku, seorang raja yang berkuasa selamanya dan akan mengabulkan setiap harinya tiga permintaan, dan lihatlah! Tak ada seorang pun yang datang.
Hingga akhirnya aku marah dan bersumpah akan membunuh siapapun yang membebaskanku. Dan hanya akan mengabulkan satu permintaanya yaitu caranya ia mati. Dan kini kau datang membebaskanku, maka nelayan sekarang pilihlah cara mati seperti apa yang kau inginkan?,” kata Jin.

-------
 
Bersambung...

Kisah Seorang Nelayan dan Jin - Bagian 1

Diposting oleh Unknown di 01.35 0 komentar
Kisah Seorang Nelayan dan Jin
Kisah 1001 Malam
Seorang Nelayan miskin menemukan sebuah botol perunggu dari dalam laut. Ketika ia membuka sumbatnya keluarlah Jin yang sangat besar. Jin itu bukannya mengucapkan terima kasih karena telah dibebaskan, tetapi malah ingin membunuh Nelayan. Apa yang terjadi kemudian?

Bagian Kesatu

“Bertahun-tahun yang lalu hiduplah seorang nelayan tua dan lemah, yang memiliki seorang istri dan tiga orang anak. Mereka sangaaaaat miskin sehingga ia kadang-kadang tidak makan sepanjang hari. Setiap hari si nelayan pergi ke pantai pagi-pagi sekali. Ia memiliki sebuah kebiasaan unik saat mencari ikan, yaitu dia hanya akan menebarkan jalanya 4 kali saja setiap harinya. Suatu hari sebelum bulan terbenam dia pergi ke tepi laut dan setelah menanggalkan pakaiannya ia menebarkan jalanya. Dia menunggu hingga airnya tidak lagi beriak, baru kemudian menarik kembali jalanya. Ternyata jala itu berat sekali, seperti ada ikan yang sangat besar terperangkap di dalamnya. Dia mencoba menariknya dengan sekuat tenaga, namun tetap saja tidak berhasil. Nelayan itu mengikatkan ujung tali jalanya ke sebuah tiang di pinggir pantai, lalu dia menyelam sambil terus menarik jalanya. Alangkah kecewanya ia, ketika tiba di ujung jalanya, ternyata hanya sisa-sisa bangkai seekor keledai. Begitu sedihnya ia sehingga mengeluh dalam hati:
“Wahai engkau yang merajai kegelapan malam dan kematian. Hindarkan aku dari rencana jahatmu, karena Alloh akan meridhoi kerja kerasku!”
Dia melepaskan bangkai binatang itu dari jalanya dan kembali ke tepi pantai.
Ia harus memperbaiki dulu jalanya yang robek di sana sini. Lalu dengan mengucap Bismillah, nelayan itu kembali menebarkan jalanya. Lagi-lagi jalanya terasa berat ketika ditarik. Bahkan lebih berat dari sebelumnya. “Mungkin banyak ikan yang tertangkap,” pikirnya. Maka ia mengikatkan tali jalanya di tiang dan dia pun kembali menyelam. Tapi apa daya, ternyata jalanya hanya berisi keranjang yang sudah penuh dengan lumpur. Ia kembali mengeluh:
“Duhai benar-benar buruk nasibku!
Wahai nasib buruk, pergilah! Atau setidaknya ringankanlah!
Bukankah aku tidak pernah meminta lebih?
Aku hanya mencari sedikit rizki, tapi yang kudapati hanyalah rasa letih.
Tapi aku salah mengeluh padamu, karena membuat orang menjadi sengsara adalah kesenanganmu.
Orang yang baik kau buat menderita sementara orang-orang jahat yang tidak memiliki kebaikan kau muliakan.”
Sedetik kemudian nelayan itu menyesali perkataannya dan sambil membersihkan jaringnya dia memohon ampun atas ketidaksabarannya. Masih dengan sedikit marah, nelayan itu menebarkan jalanya untuk ketiga kalinya namun yang didapatinya hanyalah setumpuk kulit kerang, batu dan lumpur. Bayangkan betapa sedih dan marahnya sang nelayan, karena hingga waktu Dzuhur tiba, belum satu pun ikan yang ia dapatkan.
Ia kemudian membersihkan badannya, berwudhu dan melaksanakna sholat Dzuhur. Kemudian ia menengadahkan wajahnya ke langit, berdoa: “Ya Alloh, Engkau pasti tahu bahwa aku hanya menebarkan jalaku 4 kali setiap melaut, dan kini hanya tinggal lemparanku yang terakhir. Hamba berharap ya Alloh, berilah hamba pertolongan dari kebaikan lautmu, seperti Engkau telah memberikan kebaikan kepada nabi Musa AS. Bismillah!”
Selesai berdoa, Nelayan kembali melemparkan jalanya dan dengan penuh harap menanti hingga airnya tidak lagi beriak. Lagi-lagi jalanya terasa berat sehingga ia harus kembali meyelam untuk membebaskannya. Tidak ada satu ekor ikan pun yang tertangkap oleh jalanya, namun ia menemukan sebuah botol tembaga berwarna keemasan tersangkut di dalamnya. Botol itu sepertinya penuh berisi sesuatu, karena terasa berat saat diangkat. Saat diteliti botol tersebut tertutup dan terkunci dengan seal yang rapat.
“Lumayanlah, kalau aku jual di toko tembaga, harganya bisa sampai 10 keping emas,” pikirnya. “Uangnya bisa aku pakai untuk membeli makanan.”
-------
 


Bersambung...


Kisah Pedagang dan Jin - Bagian 6

Diposting oleh Unknown di 01.10 0 komentar
Kisah Syekh Ketiga


Kini syekh yang ketiga berkata kepada jin, "aku juga memiliki cerita untukmu, dan jika ceritaku juga lebih menarik daripada cerita mereka, kau harus berjanji untuk mengurangi sepertiga lagi hukuman bagi saudagar ini."
"Baiklah!" kata jin.

Syekh yang ketiga ini menceritakan kisahnya kepada Jin, "Tahukah kau bahwa bagal ini adalah istriku. Dia berselingkuh dengan seorang budak hitam. Dan ketika aku memergokinya, dia melemparkan segelas air yang telah dimantrai sehingga aku berubah menjadi seekor anjing. Aku berhasil melarikan diri ke sebuah toko daging. Anak pemiliknya melihatku dan mengubahku kembali ke bentuk asliku. Meski dia menyarankanku untuk membalas dendam pada istriku, tapi aku menolaknya, seperti kata para utusan Alloh: "Intan itu selalu bercahaya meski di tempat yang gelap, seperti kebaikan selalu terlihat oleh Dia yang Maha Melihat meski di tempat yang buruk sekalipun."
Ketika syekh ketiga ini mengakhiri ceritanya, jin ifrit menganggukan kepalanya. Dia menyadari kesalahannya yang terbawa emosi. Dengan besar hati dia memaafkan si saudagar dan kemudian dia menghilang.
Saudagar tersebut mengucapkan terima kasih kepada ketiga syekh yang telah meyelamatkannya. Lalu mereka pun berpisah dan melanjutkan perjalanannya masing-masing.
-------
“Tapi tuanku,” kata Sheherazade. “Betapapun menariknya kisah-kisah yang sudah aku ceritakan, tidak lebih menarik dari cerita nelayan ini.”
Dinarzade, yang menyadari bahwa Sultan tidak memberikan jawaban, berkata, “Masih ada sedikit waktu lagi kak, tolong ceritakanlah padaku! Oh Sultan, saya mohon ijinkan hamba mendengar ceritanya.”
Sultan Shahriar mengijinkan, maka Sheherazade melanjutkan ceritanya…

-------
 

Kisah Pedagang Dan Jin - Bagian 4

Diposting oleh Unknown di 00.17 0 komentar
Malam kembali datang. Syahrazad, Dunyazad, dan Raja Syahrayar telah duduk di satu meja.
"Ayo kak, lanjutkan cerita kakak yang kemarin," Dunyazad tarnpak tak sabar mengatakan itu kepada kakaknya.
"Baik, akan tetapi aku baru akan melanjutkan ceritaku atas izin dari baginda raja," jawab Syahrazad.
"Lanjutkan ceritamu," ujar Raja Syahrayar.
Syahrazad pun melanjutkan kisahnya.
Ketika si kakek tua melihat tangisan anak sapi yang dibelinya, muncul rasa iba di dalam hatinya. la lalu berkata kepada penjual sapi, "Peliharalah sapi ini bersama hewan peliharaanmu yang lain."
Jin yang mendengar kisah itu terkejut. Kemudian kakek tua pemilik kijang itu melanjutkan ceritanya,  "Semua kejadian itu terjadi di depan mata istri hamba. Dan dia terus mendesak hamba agar anak sapi itu disembelih saja, karena anak sapi itu gemuk dan untuk menyembelihnya sebenarnya tidak terlalu sulit. Istri hamba itu lalu meminta agar penjual sapi itu mengambil anak sapi yang hamba pesan.
Pada  keesokan harinya,  ketika hamba  sedang duduk -duduk di rumah ,
datanglah si penjual sapi seraya bertanya, "Tuan, apakan Tuan mengizinkan saya
untuk menyampaikan sesuatu hal yang pasti akan membuat tuan senang ?'"
"Tentu," jawab hamba.
Si penjual sapi itu lalu memulai ceritanya, "Saya memiliki seorang putri
yang mempelajari ilmu sihir sejak kecil. Kemarin, ketika tuan meminta saya
membawa  pulang  anak  sapi  yang  tuan  pesan,  saya  membawa  sapi  itu  ke
hadapan putri saya itu. Anehnya, ketika putri saya melihat anak sapi itu, putri
saya menundukkan wajahnya. Dia menangis sebentar dan kemudian tertawa.
Dengan wajah merona karena malu, putri saya berkata kepada saya,  'Ayah,
mengapa  ayah  membuatku  malu  dengan membawa  seorang pemuda  asing
ke hadapanku .' Saya heran bukan kepalang dengan perkataan putri saya itu
dan bertanya padanya di mana pemuda yang dia maksud, dan mengapa dia
menangis lalu  tertawa.  Putri saya lalu memberitahu bahwa  anak sapi yang
saya bawa itu sebenarnya adalah anak tuan yang telah disihir bersama ibunya
oleh istri pertama ayahnya. Hal itulah yang membuatnya tertawa. Sedangkan
hal yang membuat dia menangis adalah kejadian tragis yang menimpa ibu si
sapi yang harus tewas di tangan ayahnya sendiri yang menyembelihnya. Tak
sabar rasanya saya menunggu pagi datang untuk segera memberi tahu tuan
tentang perkara ini."
"Wahai Paduka Raja Jin, ketika hamba mendengar penuturan si penjual
sapi itu, hamba langsung pergi bersama si penjual sapi itu ke rumahnya. Pikiran
hamba melayang-melayang karena kegembiraan yang meluap . Sesampainya
hamba di rumah si penjual sapi, putri si penjual sapi langsung menyambut
kedatangan hamba. Dia mencium tangan hamba, sementara putra hamba yang
berwujud anak sapi langsung menempelkan kepalanya ke tubuh hamba."
"Benar,  anak  sapi  itu  memang  putra  Tuan,"  ujar  putri  penjual  sapi itu  kepada  hamba .  Hamba  lalu  berkata  padanya ,  "Nak ,  jika  kau  dapat menyelamatkan putraku, aku akan memberikan harta dan hewan ternak yang banyak  kepadamu ."
Putri penjual sapi itu hanya tersenyum, kemudian ia berkata, "Tuan, saya tidak bersedia menerima semua pemberian Tuan kecuali dengan dua syarat. Syarat pertama, Tuan harus bersedia menikahkan saya dengan putra Tuan. Dan syarat yang kedua, izinkan saya untuk menyihir dan memenjarakan orang yang telah menyihir putra Tuan, karena jika tidak demikian, saya khawatir orang itu akan berbuat jahat kepada saya."
"Wahai  Paduka  Raja Jin,  ketika  hamba  mendengar  penuturan  putri  si
penjual sapi itu, hamba  pun berkata  padanya , 'Baik, aku  akan memberikan
kepadamu harta yang banyak dan aku halalkan darah istri  pertamaku yang
jahat itu'."
Setelah  putri  si  penjual  sapi  itu  mendengar  perkataan hamba,  dia  lalu mengambil cangkir yang diisinya dengan air sampai penuh. Setelah merapalkan mantera, putri penjual sapi itu menyiramkan air mantera itu ke tubuh putra hamba yang masih berwujud anak sapi seraya berseru,  "Jika Allah memang menciptakanmu sebagai seekor sapi,  tetaplah kau  sebagai sapi. Akan tetapi jika  engkau  adalah  seekor  sapi  hasil  perbuatan  sihir,  kembalilah ke  wujud asalmu dengan izin Allah!"
Setelah putri si penjual sapi itu selesai mengucapkan doa, tiba-tiba anak sapi itu berubah menjadi manusia. Hamba pun langsung memeluk putra hamba yang telah berubah wujud.
"Demi Allah, ceritakan pada ayah semua yang diperbuat oleh ibu tirimu terhadap dirimu dan ibumu," kata hamba .
Panjang lebar putra hamba menceritakan semua kejadian yang menimpa dirinya dan ibunya.
Seusai  mendengar penuturan  putra hamba,  hamba berkata  kepadanya,
"Wahai putraku , sebenarnya ketetapan Allah-lah yang telah menyelamatkan-
mu."
"Wahai Paduka Raja Jin, setelah itu hamba pun menikahkan putra hamba
dengan putri si penjual sapi. Sedangkan istri pertama hamba yang jahat telah
diubah wujudnya menjadi seekor kijang yang sekarang hamba bawa ini. Setelah
peristiwa itu, hamba berjalan ke tempat ini dan tanpa sengaja, bertemu dengan
orang-orang ini. Hamba memang berniat untuk tetap di sini karena hamba
ingin melihat gerangan apakah yang akan terjadi. Demikian cerita hamba."
Raja Jin  itu  lalu  berkata,  "Sungguh  ceritamu  tadi  adalah  cerita  yang menakjubkan. Oleh sebab itu, aku gugurkan sepertiga dari hukumanku terhadap pedagang kaya yang telah membunuh anakku itu."


Setelah  mendengar ucapan jin itu,  kakek tua  yang membawa dua  ekor
anjing  pemburu  berdiri  dan berkata  kepada  sang jin,  "Wahai  Paduka  Raja
Jin,  ketahuilah bahwasanya  kedua  anjing yang hamba bawa  ini  sebenarnya
adalah saudara kandung hamba
 

YhuLiz BLog's (Yulistyanda Sandi) Copyright © 2011 Design by Ipietoon Blogger Template | web hosting